Kalo baca sampe bawah biar sampe ke ceritanya
BJ Habibie, seorang genius yang hebat . . . . . . Judul diatas adalah
sebagai counter balance dari artikel yang ditulis oleh kontributor Koki yang
aktif Josh Chen dibawah judul “Pembelajaran dari Pemilu di Amerika” agar
menjadi berimbang dengan tujuan sebagai bahan untuk direnungkan secara jernih,
jauh dari keinginan untuk berpolemik, sekedar sepercik harapan agar supaya
Conglomeration of Lies dan pembodohan masyarakat yang dilakukan oleh rezim saat
itu, meski dengan slogan mentereng “Mencerdaskan Bangsa” tidak akan terulang
kembali, karena hanya waktu jualah yang akan membuka semua tabir kebohongan
itu.
Walaupun saya hanya pembaca Koki yang pasif, tetapi sebagai warga negara RI
yang tercinta ini saya masih menaruh perhatian khusus dalam perkembangan
situasi di tanah air yang makin terpuruk, dan mempunyai kewajiban moral untuk
menyampaikan apa sebenarnya yang terjadi disekitar kita.
Menyayangkan penolakan MPR atas penolakan pidato Habibie adalah tidak pada
tempatnya, karena semua yang dianggap sebagai keberhasilannya tidak lain adalah
hasil dari bantuan IMF meskipun persyaratannya amat berat.
Diakui bahwa
Habibie orang pintar, diatas rata-rata lah, tidak ada satupun yang dapat
menyangkalnya, memperoleh gelar Doktor-Ingenieur dari TH
(Rheinisch-Westfälichen Technischen Hochschule) di Aachen dengan predikat summa
cum laud tidaklah sembarang orang mampu mencapainya.
Mengapa “karier” Habibie di Jerman, khususnya diindustri pesawat terbang
MBB (Messerschmitt-Bölkow-Blohm) yang dapat dikategorikan sebagai
“unwahrscheinlichen-gläzende Karriere” (karier cemerlang yang luar biasa),
apakah karena Habibie itu benar-benar seorang “genius”, seperti yang selalu
digembar gemborkan oleh Soeharto serta para pengagumnya selama itu?
Dalam Corporate Culture diperusahaan yang besar ada yang dikenal sebagai
jabatan Placebo, yaitu jabatan kosong tanpa liability (tugas dan tanggung
jawab), dan biasanya titelnya juga sangat mentereng dan megah. Placebo
sebenarnya istilah medis dimana dalam clinical trial preparat obat baru, si
pasien diberi obat tanpa khasiat yang sama sekali tidak memiliki efek kuratif
maupun simptomatik, biasanya capsul kosong atau isinya hanya tepung gula,
sebagai parameter pembanding dari khasiat obat baru yang diuji cobakan
tersebut. Dalam corporate culture tersebut jabatan Placebo ini umumnya
diberikan kepada anak dari para pemegang saham mayoritas pada perusahaan yang
diakusisi tanpa melalui kompetisi yang wajar.
Bukan merupakan
rahasia lagi di kalangan para pejabat tinggi di Indonesia dan alumni Jerman,
bahwa Habibie mengantongi surat rekomendasi dari Soeharto agar pihak Jerman
sudi mengorbitkan dia, dan tentu saja dengan imbalan, seperti kata pepatah
“There is no such thing as a free lunch”, bila Habibie dipanggil pulang ke
Indonesia nanti akan diberi jabatan tinggi yang strategis yang pada saatnya
menjadikan Indonesia sebagai segmen pasar yang potensial bagi produk-produk
Jerman.
Hebatnya disini, MBB memberikan Placebo palsu pula, karena sudah dipastikan
dan diketahui sejak awal bahwa Habibie hanya akan ber “karier” untuk sementara
saja dan tidak akan terus menetap diperusahaan itu.
Bisa dibayangkan, hanya dalam tempo satu tahun, thn1966, Habibie bisa
menduduki jabatan sebagai “Abteilungsleiter der Strukturanalytischen Forschung
und Entwicklung” dan puncaknya MBB menganugerahkan jabatan Vice President,
sebagai “Direktor für Technologische Anwendungen”, dan “Leiter der Division für
Fortgeschrittene Technologie und Aeronautik” pada tahun 1974, sampai-sampai
orang Jerman asli sekalipun berdecak kagum, karena mereka sendiripun tidak akan
sanggup meniru jejak “reketenartige Karriere” (karier yang melesat bak roket)
dari Habibie.
Tidak diperlukan seorang genius, siapapun asal tidak terlalu dungu, dengan
berbekal surat semacam itu akan bisa menempati posisi Placebo palsu seperti
itu, karena kontribusinya memang tidak diperlukan, apalagi ikut berkompetisi,
semacam jabatan ecek-ecek atau pupuk bawang begitulah.
Karena MBB terlibat dalam proyek-proyek arsenal NATO, memproduksi
Eurofighter JF-90, Alpha Jet, pesawat angkut militer Transall C-160, dapat
dimaklumi siapapun yang bekerja disitu sudah dipastikan harus memiliki kewarganegaraan
Jerman yang telah berhasil lolos melalui Security Clearance yang sangat ketat.
Habibie tampaknya
tak perlu melepas kewarganegaraan Indonesianya, sebab di Jerman, seperti
dibanyak negara lainnya, memperbolehkan warganya berstatus dual-citizenship
(berkewarganeraan ganda). Sebaliknya dengan hukum di Indonesia yang tidak
mengenal adanya status semacam itu, begitu seseorang mendapatkan
kewarganegaraan lainnya, otomatis WNI nya gugur dan batal demi hukum.
Sebagai alumnus Jerman, rasanya sulit untuk diungkapkan apakah harus
berbangga bahwa Republik Indonesia itu pernah dipimpin oleh WN Jerman sebagai
Acting President walaupun hanya, Gott sei Dank (alhamdulilah), selama 518 hari
itu ataukah harus prihatin bahwa bukan hanya beras saja yang diimport,
sampai-sampai koruptorpun harus diimport.
Pada sisi lain patriotisme nya juga dipertanyakan banyak kalangan, apakah
Habibie lebih loyal kepada Indonesia atau Jerman.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, karena banyak kasus dan skandal
menunjukan secara signifikan bahwa Habibie lebih peduli dengan kepentingan
Jerman, dan apa yang terjadi selanjutnya selama Habibie menjabat menteri di
Indonesia merupakan perkembangan yang logis dan bisa mudah dimengerti, dimana
Jerman telah berhasil menggerogoti kekayaan Indonesia yang bebannya bakalan
ditanggung anak cucu kita.
Adalah Indonesia
yang membeli 9 unit Airbus dari 12 pesawat Airbus produksi pertama MBB,
sampai-sampai besi rongsokan, 39 unit kapal perang ex Jerman Timur yang sudah
berumur 20 tahun dan sudah ngangkrak selama 3 tahun tanpa perawatan di Wolgast,
dibeli untuk peremajaan armada TNI-AL yang sudah uzur. Meremajakan dengan kapal
tua? . . . .dimengerti saja rasanya sulit, hanya seorang “genius” macam Habibie
saja yang bisa memahaminya. Namanya juga kapal rongsokan, sewaktu meninjau,
KSAL saat itu Laksamana Tanto Koeswanto sempat bergurau, memperingatkan
rombongannya agar jangan sampai tergores besi kapal yang berkarat. “Awas, nanti
kau kena tetanus,” ujar Tanto berseloroh, alhasil majalah Tempo, Editor dan
Detik akhirnya diberangus rezim kala itu akibat terlalu intens memberitakan
skandal ini.
Dan masih banyak kasus-kasus lainnya, tidaklah perlu disebutkan satu
persatu, diantaranya pembelian pesawat Boeing 737-200 lungsuran Lufthansa untuk
Garuda dan Merpati, akibatnya Dirut Garuda Wage Mulyono dipecat gara-gara
menolak proposal tersebut, pembelian pesawat angkut militer Transall C-160,
meskipun TNI-AU lebih condong mengoperasikan Hercules buatan AS sebagai pesawat
angkut taktis karena sudah familiar dan lebih efisien penggunaannya.
Tidak kurang dari ZDF (Zweites Deutsches Fernsehen), lembaga pemerintah
Jerman pernah memuat artikel tentang sepak terjang Habibie di website MSNBC
dibawah judul “Soeharto Kronprinz : B.J. Habibie” (Putera mahkota Soeharto),
menyebut Habibie sebagai “Unfähige Lachnummer” (Badut yang nggak becus)
moreover, his credentials have not been acknowledged, termasuk semua
titel-titel placebo ala MBB itu.
Didalam negeri pun reputasinya menjarah uang negara cukup mengesankan,
memecahkan rekor sebagai satu-satunya menteri yang memiliki pesawat pribadi,
Gulf Stream IV berkelas VIP yang dibeli atas nama BPIS senilai 1 trilyun
rupiah, bermesin turbo jet dengan kemampuan jelajah antar benua, pesawat yang
berwarna putih dan biru itu sehari-harinya cuma parkir di hanggar FTC IPTN.
Isapan jempolnya bahkan sampai keterlaluan dengan merendahkan kemampuan
intelektual bangsa Indonesia , ketika Soeharto, tentu saja atas dasar laporan
Habibie sebagai Dirut IPTN, menyatakan di depan DPR, walaupun tanpa didanai
APBN seperti yang disyaratkan dalam Letter of Intent IMF, proyek N-250 jalan
terus, malah sudah menerima pesanan 150 unit dari Fedex di AS . . . . masyaalah
. . orang Amerika koq beli pesawat dari Indonesia , lha itu Boeing sama
Lockheed mau dikemanain?
Segera setelah pidato Soeharto itu, Dubes AS di Jakarta, Stapleton Roy,
mengirim sepucuk surat kepada Habibie yang membantah statement Soeharto
tersebut, bahwa Fedex, yang sudah mengoperasikan 600 pesawat, tidak pernah
berniat sama sekali untuk membeli pesawat N-250.
Kenyataannya IPTN tak pernah menghasilkan devisa negara, sebaliknya malah
mengeruk devisa dan anggaran negara yang pada tahun 1995 saja telah terjerat
hutang sebesar $ 2M, pesawat N-250 yang sudah menghabiskan $650 juta saja belum
berhasil dijual, karena belum mampu mendapatkan sertifikasi dari FAA.
Ketika Habibie
akhirnya berhasil melakukan imbal-beli pesawat terbang Tetuko CN-235 dengan
beras ketan hitam Thailand , dia diolok-olok, pesawat terbangnya hanya sekelas
ketan hitam.
Inilah beberapa prestasinya dalam rangka pembodohan rakyat Indonesia ,
dengan memberikan kebanggaan palsu. Hasilnya segera terlihat nyata, pembangunan
semu selama 32 tahun yang digembar-gemborkan akhirnya rontok dalam waktu hanya
kurang dari 1 tahun. Belum lagi KKN nya yang menggurita disemua lini, semua
orang di Indonesia juga tahu, bisa dipastikan kalau dia terpilih sebagai
presiden, KKN nya bisa-bisa jauh melebihi Soeharto.
Atas pertimbangan ini pula, tidaklah heran kalau alumni Jerman di Jakarta
yang tergabung dalam ARI (Aliansi Reformasi Indonesia) yang diketuai oleh
Batara Hutagalung (mantan ketua PPI Jerman) menyatakan sikapnya bahwa mereka
tidak mendukung pencalonan Habibie menjadi presiden. Dia juga dianggap terlalu
hanyut dalam angan-angan tehnologinya yang tidak memenuhi kebutuhan dasar
tehnologi bangsa Indonesia , yang ternyata membuat sepeda secara utuh saja
belum sampai.
Opini publik yang menganggap Habibie sebagai seorang “genius” kelas dunia adalah hanya fantasi belaka sebagai korban dari Conglomeration of Lies . . . mengenaskan memang . . . . .
Opini publik yang menganggap Habibie sebagai seorang “genius” kelas dunia adalah hanya fantasi belaka sebagai korban dari Conglomeration of Lies . . . mengenaskan memang . . . . .
Akhirulkalam,
suka tidak suka kenyataan pahit semacam ini harus kita terima sebagai
Inconvenient Truth dan marilah berdoa semoga kita segera mendapatkan seorang
pemimpin yang demokratis, loyal, berdedikasi dan memiliki integritas tinggi
yang benar-benar mampu membangun negara.
May the new President to come have wisdom beyond his years, to lead in
paths of justice and integrity, and to bear great burdens with dignity .
Terima kasih buat Mamak Presiden dan Kokiers semuanya.
sumber :http://lieagneshendra.blog.friendster.com/?p=2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar