Senin, 22 Juli 2013

Bj. Habibi sebenarnya, ein grosser Genius aller Zeiten



Kalo baca sampe bawah biar sampe ke ceritanya
BJ Habibie, seorang genius yang hebat . . . . . . Judul diatas adalah sebagai counter balance dari artikel yang ditulis oleh kontributor Koki yang aktif Josh Chen dibawah judul “Pembelajaran dari Pemilu di Amerika” agar menjadi berimbang dengan tujuan sebagai bahan untuk direnungkan secara jernih, jauh dari keinginan untuk berpolemik, sekedar sepercik harapan agar supaya Conglomeration of Lies dan pembodohan masyarakat yang dilakukan oleh rezim saat itu, meski dengan slogan mentereng “Mencerdaskan Bangsa” tidak akan terulang kembali, karena hanya waktu jualah yang akan membuka semua tabir kebohongan itu.
Walaupun saya hanya pembaca Koki yang pasif, tetapi sebagai warga negara RI yang tercinta ini saya masih menaruh perhatian khusus dalam perkembangan situasi di tanah air yang makin terpuruk, dan mempunyai kewajiban moral untuk menyampaikan apa sebenarnya yang terjadi disekitar kita.
Menyayangkan penolakan MPR atas penolakan pidato Habibie adalah tidak pada tempatnya, karena semua yang dianggap sebagai keberhasilannya tidak lain adalah hasil dari bantuan IMF meskipun persyaratannya amat berat.
Diakui bahwa Habibie orang pintar, diatas rata-rata lah, tidak ada satupun yang dapat menyangkalnya, memperoleh gelar Doktor-Ingenieur dari TH (Rheinisch-Westfälichen Technischen Hochschule) di Aachen dengan predikat summa cum laud tidaklah sembarang orang mampu mencapainya.
Mengapa “karier” Habibie di Jerman, khususnya diindustri pesawat terbang MBB (Messerschmitt-Bölkow-Blohm) yang dapat dikategorikan sebagai “unwahrscheinlichen-gläzende Karriere” (karier cemerlang yang luar biasa), apakah karena Habibie itu benar-benar seorang “genius”, seperti yang selalu digembar gemborkan oleh Soeharto serta para pengagumnya selama itu?
Dalam Corporate Culture diperusahaan yang besar ada yang dikenal sebagai jabatan Placebo, yaitu jabatan kosong tanpa liability (tugas dan tanggung jawab), dan biasanya titelnya juga sangat mentereng dan megah. Placebo sebenarnya istilah medis dimana dalam clinical trial preparat obat baru, si pasien diberi obat tanpa khasiat yang sama sekali tidak memiliki efek kuratif maupun simptomatik, biasanya capsul kosong atau isinya hanya tepung gula, sebagai parameter pembanding dari khasiat obat baru yang diuji cobakan tersebut. Dalam corporate culture tersebut jabatan Placebo ini umumnya diberikan kepada anak dari para pemegang saham mayoritas pada perusahaan yang diakusisi tanpa melalui kompetisi yang wajar.
Bukan merupakan rahasia lagi di kalangan para pejabat tinggi di Indonesia dan alumni Jerman, bahwa Habibie mengantongi surat rekomendasi dari Soeharto agar pihak Jerman sudi mengorbitkan dia, dan tentu saja dengan imbalan, seperti kata pepatah “There is no such thing as a free lunch”, bila Habibie dipanggil pulang ke Indonesia nanti akan diberi jabatan tinggi yang strategis yang pada saatnya menjadikan Indonesia sebagai segmen pasar yang potensial bagi produk-produk Jerman.
Hebatnya disini, MBB memberikan Placebo palsu pula, karena sudah dipastikan dan diketahui sejak awal bahwa Habibie hanya akan ber “karier” untuk sementara saja dan tidak akan terus menetap diperusahaan itu.
Bisa dibayangkan, hanya dalam tempo satu tahun, thn1966, Habibie bisa menduduki jabatan sebagai “Abteilungsleiter der Strukturanalytischen Forschung und Entwicklung” dan puncaknya MBB menganugerahkan jabatan Vice President, sebagai “Direktor für Technologische Anwendungen”, dan “Leiter der Division für Fortgeschrittene Technologie und Aeronautik” pada tahun 1974, sampai-sampai orang Jerman asli sekalipun berdecak kagum, karena mereka sendiripun tidak akan sanggup meniru jejak “reketenartige Karriere” (karier yang melesat bak roket) dari Habibie.
Tidak diperlukan seorang genius, siapapun asal tidak terlalu dungu, dengan berbekal surat semacam itu akan bisa menempati posisi Placebo palsu seperti itu, karena kontribusinya memang tidak diperlukan, apalagi ikut berkompetisi, semacam jabatan ecek-ecek atau pupuk bawang begitulah.
Karena MBB terlibat dalam proyek-proyek arsenal NATO, memproduksi Eurofighter JF-90, Alpha Jet, pesawat angkut militer Transall C-160, dapat dimaklumi siapapun yang bekerja disitu sudah dipastikan harus memiliki kewarganegaraan Jerman yang telah berhasil lolos melalui Security Clearance yang sangat ketat.
Habibie tampaknya tak perlu melepas kewarganegaraan Indonesianya, sebab di Jerman, seperti dibanyak negara lainnya, memperbolehkan warganya berstatus dual-citizenship (berkewarganeraan ganda). Sebaliknya dengan hukum di Indonesia yang tidak mengenal adanya status semacam itu, begitu seseorang mendapatkan kewarganegaraan lainnya, otomatis WNI nya gugur dan batal demi hukum.
Sebagai alumnus Jerman, rasanya sulit untuk diungkapkan apakah harus berbangga bahwa Republik Indonesia itu pernah dipimpin oleh WN Jerman sebagai Acting President walaupun hanya, Gott sei Dank (alhamdulilah), selama 518 hari itu ataukah harus prihatin bahwa bukan hanya beras saja yang diimport, sampai-sampai koruptorpun harus diimport.
Pada sisi lain patriotisme nya juga dipertanyakan banyak kalangan, apakah Habibie lebih loyal kepada Indonesia atau Jerman.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, karena banyak kasus dan skandal menunjukan secara signifikan bahwa Habibie lebih peduli dengan kepentingan Jerman, dan apa yang terjadi selanjutnya selama Habibie menjabat menteri di Indonesia merupakan perkembangan yang logis dan bisa mudah dimengerti, dimana Jerman telah berhasil menggerogoti kekayaan Indonesia yang bebannya bakalan ditanggung anak cucu kita.
Adalah Indonesia yang membeli 9 unit Airbus dari 12 pesawat Airbus produksi pertama MBB, sampai-sampai besi rongsokan, 39 unit kapal perang ex Jerman Timur yang sudah berumur 20 tahun dan sudah ngangkrak selama 3 tahun tanpa perawatan di Wolgast, dibeli untuk peremajaan armada TNI-AL yang sudah uzur. Meremajakan dengan kapal tua? . . . .dimengerti saja rasanya sulit, hanya seorang “genius” macam Habibie saja yang bisa memahaminya. Namanya juga kapal rongsokan, sewaktu meninjau, KSAL saat itu Laksamana Tanto Koeswanto sempat bergurau, memperingatkan rombongannya agar jangan sampai tergores besi kapal yang berkarat. “Awas, nanti kau kena tetanus,” ujar Tanto berseloroh, alhasil majalah Tempo, Editor dan Detik akhirnya diberangus rezim kala itu akibat terlalu intens memberitakan skandal ini.
Dan masih banyak kasus-kasus lainnya, tidaklah perlu disebutkan satu persatu, diantaranya pembelian pesawat Boeing 737-200 lungsuran Lufthansa untuk Garuda dan Merpati, akibatnya Dirut Garuda Wage Mulyono dipecat gara-gara menolak proposal tersebut, pembelian pesawat angkut militer Transall C-160, meskipun TNI-AU lebih condong mengoperasikan Hercules buatan AS sebagai pesawat angkut taktis karena sudah familiar dan lebih efisien penggunaannya.
Tidak kurang dari ZDF (Zweites Deutsches Fernsehen), lembaga pemerintah Jerman pernah memuat artikel tentang sepak terjang Habibie di website MSNBC dibawah judul “Soeharto Kronprinz : B.J. Habibie” (Putera mahkota Soeharto), menyebut Habibie sebagai “Unfähige Lachnummer” (Badut yang nggak becus) moreover, his credentials have not been acknowledged, termasuk semua titel-titel placebo ala MBB itu.
Didalam negeri pun reputasinya menjarah uang negara cukup mengesankan, memecahkan rekor sebagai satu-satunya menteri yang memiliki pesawat pribadi, Gulf Stream IV berkelas VIP yang dibeli atas nama BPIS senilai 1 trilyun rupiah, bermesin turbo jet dengan kemampuan jelajah antar benua, pesawat yang berwarna putih dan biru itu sehari-harinya cuma parkir di hanggar FTC IPTN.
Isapan jempolnya bahkan sampai keterlaluan dengan merendahkan kemampuan intelektual bangsa Indonesia , ketika Soeharto, tentu saja atas dasar laporan Habibie sebagai Dirut IPTN, menyatakan di depan DPR, walaupun tanpa didanai APBN seperti yang disyaratkan dalam Letter of Intent IMF, proyek N-250 jalan terus, malah sudah menerima pesanan 150 unit dari Fedex di AS . . . . masyaalah . . orang Amerika koq beli pesawat dari Indonesia , lha itu Boeing sama Lockheed mau dikemanain?
Segera setelah pidato Soeharto itu, Dubes AS di Jakarta, Stapleton Roy, mengirim sepucuk surat kepada Habibie yang membantah statement Soeharto tersebut, bahwa Fedex, yang sudah mengoperasikan 600 pesawat, tidak pernah berniat sama sekali untuk membeli pesawat N-250.
Kenyataannya IPTN tak pernah menghasilkan devisa negara, sebaliknya malah mengeruk devisa dan anggaran negara yang pada tahun 1995 saja telah terjerat hutang sebesar $ 2M, pesawat N-250 yang sudah menghabiskan $650 juta saja belum berhasil dijual, karena belum mampu mendapatkan sertifikasi dari FAA.
Ketika Habibie akhirnya berhasil melakukan imbal-beli pesawat terbang Tetuko CN-235 dengan beras ketan hitam Thailand , dia diolok-olok, pesawat terbangnya hanya sekelas ketan hitam.
Inilah beberapa prestasinya dalam rangka pembodohan rakyat Indonesia , dengan memberikan kebanggaan palsu. Hasilnya segera terlihat nyata, pembangunan semu selama 32 tahun yang digembar-gemborkan akhirnya rontok dalam waktu hanya kurang dari 1 tahun. Belum lagi KKN nya yang menggurita disemua lini, semua orang di Indonesia juga tahu, bisa dipastikan kalau dia terpilih sebagai presiden, KKN nya bisa-bisa jauh melebihi Soeharto.
Atas pertimbangan ini pula, tidaklah heran kalau alumni Jerman di Jakarta yang tergabung dalam ARI (Aliansi Reformasi Indonesia) yang diketuai oleh Batara Hutagalung (mantan ketua PPI Jerman) menyatakan sikapnya bahwa mereka tidak mendukung pencalonan Habibie menjadi presiden. Dia juga dianggap terlalu hanyut dalam angan-angan tehnologinya yang tidak memenuhi kebutuhan dasar tehnologi bangsa Indonesia , yang ternyata membuat sepeda secara utuh saja belum sampai.
Opini publik yang menganggap Habibie sebagai seorang “genius” kelas dunia adalah hanya fantasi belaka sebagai korban dari Conglomeration of Lies . . . mengenaskan memang . . . . .
Akhirulkalam, suka tidak suka kenyataan pahit semacam ini harus kita terima sebagai Inconvenient Truth dan marilah berdoa semoga kita segera mendapatkan seorang pemimpin yang demokratis, loyal, berdedikasi dan memiliki integritas tinggi yang benar-benar mampu membangun negara.
May the new President to come have wisdom beyond his years, to lead in paths of justice and integrity, and to bear great burdens with dignity .
Terima kasih buat Mamak Presiden dan Kokiers semuanya.


sumber :http://lieagneshendra.blog.friendster.com/?p=2017

Tidak ada komentar: