Minggu, 21 Juli 2013

sejarah sukarno amerika dan unisoviet



https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRubg9jWQy7lr126NQ6W3FS0hLJcPBYL1pwUtqLAAUnEL1NXSVS 
Satu Museum untuk Tujuh Jenderal?
Jadi sejarah sebenarnya hanyalah permainan kata dalam menyusun sebuah cerita panjang tentang kebenaran. Penulisan sejarah adalah arena permainan antara fakta dan fiksi.
Harus disampaikan dalam bentuk cerita dan berhasil dimengerti karena akal manusia memiliki ruang fiksional tempat imajinasi bermain. Tak heran, cerita sejarah sebagai sebuah laporan tentang fakta-fakta kemerdekaan selalu hadir dengan romantis, patriotik, bahkan sedikit mitologis.
Penting suatu peristiwa sejarah, makin romantis dan patriotik wujud pengungkapan-nya. Sebaliknya, bahkan roman paling picisan sekalipun harus dibangun atas setting dan kejadian-kejadian yang logis dan faktual sehingga bisa dimengerti.
Sebagian fakta adalah fiksi dan sebagian fiksi adalah fakta, bagaimana manusia mengingat sejarah? Hanya sebagian kecil saja orang yang begitu berdedikasi pada tanggal seperti para guru sejarah yang idealis dan sejarawan kutu buku. Di luar itu, manusia sebenarnya makhluk egois atau lebih tepat selektif. Dia hanya ingin mengingat hal-hal yang ingin dikenangnya.
Terbatas
Warga negara yang loyal, kita tidak diperbolehkan untuk terlalu bebas memilih mana yang harus diingat dan mana yang harus dilupakan. Masa silam sudah dituliskan oleh pihak lain yang punya kuasa. Ikatan emosional atas suatu peristiwa sejarah adalah nostalgia yang disuntikkan penguasa dalam ruang imajinasi kolektif rakyat, dan jauh dari pengalaman pribadi terhadap peristiwa yang terjadi.
Mengajarkan kita untuk memperbaiki kesalahan yang sudah ditentukan, lewat cara-cara yang sudah ditentukan juga. Sejarah transisi Indonesia 1963-1966 bisa sebagai sebuah laboratorium yang baik untuk melihat bagaimana situasi akhir perang dingin di Asia Tenggara dengan kemenangan telak blok kapitalisme mengubah secara radikal tidak hanya pemetaan geopolitis, pemasaran, demokrasi, informasi, dan arus modal di Indonesia, tapi juga bagaimana sejarah seharusnya dituliskan.
Sistematik ingatan kolektif Indonesia pascaperang dingin dipersiapkan agar siap menerima sistem ekonomi liberal yang lebih menguntungkan pasar modal internasional di akhir 1966. Proses ini harus cepat, mulus, dan efektif karena waktu tidak banyak. Pemerintah baru harus menentukan mana yang harus diingat dan mana yang harus dilupakan.
Pada marxisme dan sosialisme di Indonesia diarahkan pada kebencian kolektif terhadap fakta 30 September. PKI= Binatang dan atribut-atribut senada di media massa jadi senjata retorika efektif dalam menggairahkan pembunuhan mendekati sejuta manusia dengan suka ria hanya beberapa bulan setelah PKI dilarang.
tahun kemudian ?komunisme adalah bahaya laten, sebuah jargon yang lebih intelektual, mengunci imajinasi kita dengan fiksi-fiksi heroik yang sangat faktual dan fakta-fakta yang berbaur dengan fiksi. Tapi itulah wajah kebudayaan kekerasan kita, di mana pembunuhan massal hanyalah statistik dalam laci gelap, sementara pembunuhan tujuh jenderal menjadi drama horror, urban legend untuk generasi tua-muda.
kini kita memetik buah ranum kapitalisme. Tahun 1960-an kita tak punya apa-apa kecuali harga diri. Tahun ini, kita nyaris punya semuanya kecuali harga diri karena harus mengimpor semua kebutuhan, mulai dari peniti sampai handphone, sementara ekspornya TKI serta garmen dan sepatu hasil keringat buruh upahan rendah yang dikendalikan dan dimiliki perusahaan asing.
ekonomi marxisme dibunuh 30 tahun lalu, tanpa ruang untuk mengkaji segi positifnya dari segi pemikiran ekonomi-politik untuk kepentingan negara Dunia Ketiga yang gampang digonjang-ganjing lewat pasar bursa. Maka, kita, generasi muda urban sekarang merasa bahwa ketidakadilan ekonomi adalah risiko biasa dalam kapitalisme yang merupakan kehendak Tuhan.
, hati kecil punya kecerdasan sendiri. Dia bisa terlihat mati, tapi¨sebagaimana hati kecil sukar dibunuh dan punya kemampuan bertahan sepanjang akal sehat ada. Ada dosa tak terjelaskan dalam ingatan kultural kita hari ini.
menjelaskan secara telanjang bahwa perlu ada sejuta orang awam (barangkali lebih) sengaja dibunuh tanpa pengadilan hanya karena punya hubungan dengan sebuah partai kiri yang dituduh makar dan gagal? Apakah marxisme dilarang karena dia tidak henti-hentinya menawarkan suatu kesadaran kritis akan ketidakadilan yang akan jadi penghambat globalisasi ekonomi? Apakah semuanya sudah direncana-kan? Akal sehat memang selalu bertanya.
sejarah tutur
dari kita memahami fakta-fakta historis karena memiliki ikatan personal terhadap peristiwa-peristiwa yang sangat khusus. Testimonial dari sisa-sisa yang masih bernapas dan mengingat sebetulnya menjadi bahan yang penting dan menunggu untuk disuarakan sebagai data utama bagi sejarah.
dalam perspektif oral tentunya lebih kaya nuansa, sebab para penuturnya hadir secara aktif menceritakan pengalaman pribadi sebagai makhluk kultural yang memiliki perasaan, kemarahan, humor, ketakutan dan kemampuan otokritik. Testimonial adalah penceritaan identitas diri dalam konteks historis yang aktual.
sejarah seharusnya memanusiakan rakyat, bukan memonumenkannya secara narsis. Bangsa menjadi dewasa bukan karena bertempur dan menyembelih manusia tapi karena mengambil risiko untuk memaafkan (termasuk mengaku kesalahan) dan belajar mendengarkan rakyatnya. Strategi kultural yang serius lewat museum dan perekaman, khususnya sisi gelap Orde Baru, sudah saatnya dilakukan. Museum yang berhasil bukan saja membuat pengunjung mencocok-cocokkan pengetahuan kulturalnya dengan artefak budaya, tapi juga menawarkan pilihan konseptual yang kritis, sehingga pengunjung mendapatkan sesuatu yang baru.
konteks peristiwa pembantaian massal, tawaran kritis itu adalah upaya membangun-kan ingatan rakyat dari amnesia sejarah yang ketinggalan zaman. Namun, jika tujuh jenderal yang dibunuh membutuhkan satu museum, berapa museum untuk menampung a£á?suaraa£á? ratusan ribu, bahkan juta nyawa tumbal pembangunan?
Iwan Meulia Pirous, Staf Pengajar FISIP-UI
********************************
Sebuah tulisan yang bagus. Dari "tujuh jenderal" yang disebutkan dalam judul, sebetulnya enam yang tewas, yang satu "sakit permanen".
Sumber: http://www.parasindonesia.com/read.php?gid=103
September, 30 2005 @:04 am

Coup '65: 30 September
Oleh Coen Husain Pontoh
Samudera perpolitikan Indonesia, makin hari makin bergelombang. Tapi sesungguhnya, gelombang itu lebih terasa di kalangan elite. Maklum, mayoritas rakyat Indonesia, yang baru merdeka 20 tahun lamanya itu, masih buta huruf, masih mengandalkan radio sebagai alat komunikasi. Padahal alat komunikasi utama ini jangkauannya sangat terbatas.
Kisruh politik makin memanas. Lebih-lebih dengan kondisi sang pemimpin besar revolusi, paduka yang mulia, panglima tertinggi angkatan bersenjata,yang telah jatuh sakit. Semua kekuatan politik siap berhadap-hadapan, menunggu saat tepat untuk bergerak.
Saat itu sudah lama diperkirakan olehnya. Pasti akan terjadi, cepat atau lambat. Informasi yang berkaitan dengan kondisi politik ini sudah ada di tangannya melalui pembicaraan-pembicaraan rahasia. Dia sudah lama gemas, namun menunggu momen memang membutuhkan kesabaran. Sebagaimana kesabaran prajurit yang akan membidik sasaran. Dan bidikan itu sudah lama ia tengarai. Pembicaraan-pembicaraan itu menjadi bekal.
“Ini saatnya bagi tuan untuk bergerak. Jika tuan terlambat, maka negeri ini akan jatuh ke tangan komunis.”
“Jangan sampai komunisme berkuasa. Katakan, tindakan apa yang harus saya lakukan? Sebagai prajurit saya patuh pada atasan, dan hingga kini tak ada perintah dari komandan untuk bertindak.”
“Tuanlah yang harus bertindak. Bukan komandan tuan. Mereka selalu akan menunggu perintah panglima tertinggi. Dan ingat, dia sedang sakit parah. Tuan tidak lihat bahwa komunisme semakin gencar merengkuh semua kekuatan politik untuk berada di bawah pengaruhnya?”
“Saya tahu itu. Tapi saya juga tahu tidak ada yang salah dengan itu, karena mereka menjalankan bagian daripada strategi dan taktik politik.”
“Tuan terlalu naif. Politik itu berwajah seribu, hari ini menjadi kawan besok sudah dijadikan lawan.”
“Saya prajurit, bukan politisi. Tugas saya adalah mengamankan negeri ini daripada ancaman, gangguan, dan hambatan yang terjadi.”
“Di situlah maksud saya. Tuan tahu, komunisme adalah ancaman yang nyata bagi negeri tuan. Mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai bagian dari gerakan komunis internasional yang dipimpin oleh Beijing. Jika itu terjadi, maka tuan tidak punya keleluasaan dalam membangun negeri tuan, karena semuanya nanti akan tergantung pada arahan dan persetujuan Beijing.”
“Saya mengerti.”
Dia terdiam sejenak. Memahami benar bagaimana Partai Komunis Indonesia adalah ancaman nyata baginya. Namun, dia juga paham, bahwa PKI berjalan di koridor yang telah ditentukan. Mereka ikut pemilu, mengakui Pancasila sebagai dasar negara, dan tidak menentang Angkatan Darat secara langsung.
Dia menatap lawan bicaranya yang masih duduk sambil menghisap sebatang rokoknya. Terbersit di benaknya, sebuah kalimat pancingan yang bernada lugu namun diarahkan untuk membuatnya tahu apa isi benak lawan bicaranya.
“Saya mengerti, namun, soal politik, itu bukan urusan saya.”
“Ah lagi-lagi tuan terlalu naif. Tuan tentunya tahu bahwa dalam komunisme, militer harus tunduk pada arahan dan perintah partai.”
“Jangan sampai itu terjadi. AD bukan alat kekuatan apapun, AD bukan pemadam kebakaran. Bahkan AD, seperti kata Panglima Besar Jend. Soedirman, adalah satu-satunya kekuatan yang tetap utuh dan solid. AD adalah tentara rakyat, ia berjuang bersama rakyat merebut dan mempertahankan kemerdekaan republik. Karena itu, AD harus terlibat dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan negara.”
“Itulah yang saya maksud mengapa komunisme dan PKI merupakan ancaman nyata.”
“Tapi apa yang harus saya lakukan? PKI adalah sebuah partai politik yang sah, yang berjuang dengan cara-cara legal. Mereka tidak menabrak konstitusi kami.”
“Tuan, itu hanya salah satu aspek dari strategi politik PKI. Mereka mengenal perjuangan legal dan ilegal, mekanisme atas-bawah. Yang di atas tidak mencermin-kan realitas yang sesungguhnya. Tuan tahu bahwa mereka juga menggarap prajurit-prajurit Angkatan Bersenjata?”
“Saya lebih tahu daripada mereka. Saya tahu mereka menyusup ke tubuh angkatan bersenjata. Saya tahu betul agen-agen mereka. Berikan kepada saya, apa alasan legal saya untuk menindak PKI ? Mereka tidak melakukan pemberontakan, mereka tidak menentang angkatan bersenjata secara terbuka. Mereka berbeda dengan Masyumi atau PSI yang terkait dengan PRRI dan Permesta.”
Si lawan bicara tersenyum.
“Tuan, politik itu berwajah seribu. Tuan bisa membuat seribu satu alasan untuk menghantam komunisme, untuk kemudian berkuasa di negeri ini.”
“Yang saya butuhkan alasan legalnya, saya ingin kelak ketika berkuasa hal itu dicapai dengan cara-cara legal. Soal bagaimana melakukan, Anda tak perlu mengajari saya.”
“Tuan, alasan bisa dicari dan dibentuk. Yang paling penting adalah tindakan. Dalam politik, mereka yang berhasil memanfaatkan momentum adalah yang memenangkan pertarungan. Politik bukanlah matematika. Politik adalah seni. Seni berkuasa. Kadang tuan harus tampil gagah, kadang lemah, kadang lembut, kadang abstrak, tapi juga harus berani bersikap tegas dan keras. Jangan seperti Nasution, yang gagah tapi tidak berani bersikap tegas. Atau Yani, yang hanya cukup puas mengabdi pada pemimpin besar revolusi.”
“Lalu apa momentum itu?”
“Tuan, inilah saatnya momentum yang terbaik. Panglima besar sedang jatuh sakit, semua kekuatan politik saling bersiaga, menunggu siapa yang mulai bertindak. Tapi mereka hanya menunggu, mereka tak berani mulai bertindak. Itulah kesalahan utama mereka.”
“Saya mengerti, tapi tindakan apa yang harus diambil? Saya kira semua elite itu berpikiran seperti saya, ‘tindakan apa yang harus diambil yang menguntungkan kedudukannya?”
Si lawan bicara mengerti, mata kail telah bergoyang.
“Tuan, untuk memenangkan pertempuran saat ini, tuan harus menyerang kekuatan yang paling kuat. Kekuatan yang paling kuat itu adalah Soekarno, panglima besar revolusi, pemimpin tertinggi angkatan bersenjata.”
“Itu saya mengerti, tapi sekali lagi apa alasan legalnya?”
“Tuan bertindaklah, jangan dulu memikirkan alasan legalnya. Kalau tuan sudah berkuasa, tuan bisa membuat sendiri alasan legal itu. Hukum itu produk politik, orang sejak awal berkuasa dulu baru membuat aturan, karena dengan demikian barulah aturan itu bisa ditegakkan. Bukan sebaliknya.”
“Tapi, kalau itu saya lakukan, pasti akan ada pertumpahan darah yang luar biasa, akan ada perang saudara. Saya tidak mau sebagai prajurit, dituduh mengobarkan perang saudara.”
“Tuan, untuk kepentingan umum, terkadang kita harus mengorbankan kepentingan orang per orang atau golongan per golongan. Untuk kepentingan jangka panjang, tidaklah soal jika kepentingan jangka pendek dibatalkan.”
“Itulah yang saya pikirkan, kepentingan jangka panjang itu. Saya tak ingin disebut sebagai pemimpin yang berlumuran darah, saya tak ingin dunia internasional takut berhadapan dengan saya karena kekejaman yang terjadi.”
“Tuan, masa depan ditentukan oleh tindakan tuan hari ini. Masa depan ada dalam buku-buku sejarah, dan sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Soal dunia internasional, tuan dunia tidak seterbuka yan tuan kira, juga tidak sesantun yang tuan sangka. Dunia luar penuh warna, dan warna itu tergantung pada kepentingan mereka. Apalagi saat ini, setiap negara sibuk dengan urusannya masing-masing.”
“Tapi pasti mereka akan tahu, dan saya tidak ingin terasing dari pergaulan interna-sional.”
“Tuan jangan khawatir soal itu. Kami adalah kawan dan sahabat tuan, jika tuan berkuasa kelak. Kami justru lebih takut dengan pemerintahan yang ada saat ini, karena mereka membiarkan komunisme bersimaharajalela.”
Sang prajurit menghela nafas panjang-panjang.
Malam kian larut, dan dingin semakin menusuk tulang.

https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcT8lspqP-VKbZmbNgy4wVPvuXNVEOyVmmjPg-DVJoFomaJlQ6JU
SEKILAS TENTANG PERINGATAN TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN 65
Kegiatan untuk memperingati 40 Tahun Peristiwa Tragedi Kemanusiaan 65 yang pada pokoknya dimulai sekitar tanggal 29 September 2005 sampai sekarang masih terasa ada gemanya. Di antara acara-acara yang menarik perhatian cukup banyak orang yalah yang diselenggarakan dalam rangka Pekan Seni Budaya “Menguak Tabir Merajut Masa Depan” oleh kerjasama berbagai organisasi antara tanggal 28 September dan 5 Oktober 2005 di Jakarta dan Depok.
Meskipun kegiatan peringatan 40 tahun peristiwa 65 ini kemudian agak “terganggu” oleh adanya peristiwa-peristiwa besar lainnya yang menggiring perhatian banyak orang, yaitu peristiwa peledakan bom oleh teroris di Bali dan geger besar-besaran karena kenaikan harga BBM sejak tanggal 1 Oktober, boleh dikatakan kegiatan peringatan ini tetap merupakan peristiwa yang penting.
Dan walaupun koran-koran nasional tidak banyak menyiarkan berita tentang kegiatan-kegiatan ini, tetapi dalam berbagai milis di Internet cukup banyak tulisan atau berita dari berbagai kalangan merupakan partispasi dalam peringatan ini. Sepanjang pengamatan dari jauh (dan karenanya bisa lengkap atau tidak cermat) kegiatan untuk memperingati peristiwa 40 tahun ini tidak mendapat rintangan yang besar atau serangan yang serius dari fihak pendukung atau simpatisan Orde Baru.
Dalam rangka peringatan ini juga telah dilaksanakan bedah Buku Antologi Tragedi Kemanusiaan 65 di Jakarta, dengan mendapat perhatian banyak sekali orang dari berbagai kalangan. Buku Antologi yang terdiri dari 350 halaman ini berisi cerpen, curahan hati, esai, dan puisi hasil karya 37 penulis. Dalam acara bedah buku yang dihadiri juga oleh Gus Dur ini, telah diserahkan kepadanya satu jilid buku antologi ini oleh Ilham Aidit, sebagai simbol yang mempunyai makna penting.
Berbagai kegiatan di luar Indonesia
Dalam rangka memperingati 40 tahun peristiwa 65 ini berbagai Indonesia di luarnegeri juga mengadakan kegiatan-kegiatan. Pada tanggal 15 Oktober 2005 ini Panitia Peringatan Tragedi Nasional 1965 di negeri Belanda akan mengadakan pertemuan besar di Diemen. Pertemuan besar ini akan dihadir oleh peserta-peserta orang Indonesia dari negeri Belanda, Perancis, Swedia dan negeri-negeri lain. Sedangkan pada tanggal 16 Oktober kegiatan yang serupa untuk memperingati peristiwa 65 juga akan diadakan di Aachen (Jerman).
Perhatian terhadap peringatan 40 Tahun Peristiwa ini juga tercermin dalam sebagian pers di berbagai negeri. Antara lain: mingguan l’Humanité Hebdo (penerbitan Partai Komunis Perancis) telah menyajikan tulisan panjang yang memenuhi satu halaman penuh, mengenai peristiwa G30S dan pembunuhan besar-besaran terhadap golongan kiri di Indonesia. Demikian juga mingguan ROUGE kepunyaan Liga Komunis Revolusioner (aliran Internasionale ke-4) juga menyiarkan tulisan satu halaman penuh tentang peran CIA dan TNI-AD dalam peristiwa besar yang bersejarah ini. Di negeri Belanda, radio CPRO menyiarkan secara berturut-turut 3 macam siaran, sedangkan penerbitan NCPN (Partai Komunis Belanda Baru) juga membuat tulisan mengenai peristiwa 65.
Sejumlah penerbitan di Jerman ( Neues Deutschland, Junge Welt, Taz) juga tidak ketinggalan dalam para pembacanya tentang peristiwa 65 dan rejim militer Suharto yang telah membuat penderitaan begitu banyak orang di Indonesia.
Dalam arti tertentu, peringatan 40 tahun peristiwa 65 ini berhasil dalam menggugah kembali banyak orang kepada masa gelap Orde Baru yang dibangun oleh rezim militer Suharto. Karena, dalam rangka peringatan ini telah bermunculan sekali tulisan berupa berbagai macam essai, sajak, curahan hati, analisa dan, yang mengambil masalah peristiwa 65 sebagai tema Penting sekali dicatat bahwa kegiatan-kegiatan ini diselenggarakan oleh kerjasama berbagai organisasi dengan partisipasi kalangan luas dalam masyarakat. Satu aspek yang juga menggembirakan yalah ikut sertanya secara aktif generasi muda bangsa dalam berbagai kegiatan ini.
Catatan A. Umar Said
Paris, 26 September 2003

SOAL G30S, BUNG KARNO DAN SUHARTO
Sebentar lagi akan datang 30 September. Bagi banyak orang, di masa yang lalu, tanggal ini dan hari-hari berikutnya, merupakan hari yang mengandung kenang-kenangan yang penuh kepedihan dan kegetiran. Bahkan, bagi sebagian bangsa kita, penderitaan yang diakibatkan buntut peristiwa G30S masih dirasakan sampai sekarang, lebih dari 37 tahun kemudian. Kekuasaan rezim militer Orde Baru di bawah pimpinan Suharto dkk, telah membikin peristiwa 30 September 1965 sebagai dasar serentetan pengkhianatan terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia, dan sebagai sumber berbagai pelanggaran HAM secara besar-besaran yang dilakukan selama puluhan tahun.
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSI8HS3-s64TuSiGO8TmAruUatvVndopnJGjM2TCTZIPXIFZ0L4
Selama ini, sudah banyak yang ditulis atau dibicarakan tentang G30S serta buntutnya yang panjang. Tetapi selama jangka waktu yang lama ini, sebagian terbesar tulisan mengenai peristiwa ini, serta berbagai akibatnya, hanya menyajikan versi sefihak yang banyak diputarbalikkan atau dipalsu oleh para pendukung rezim militer. Oleh karena itu, perlu terus didorong lahirnya berbagai macam tulisan - atau kegiatan lainnya - tentang G30S serta akibatnya, yang memungkinkan kita bersama untuk meninjaunya dari banyak sudut pandang. Sebab, sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa G30S sebenarnya mengandung persoalan-persoalan yang rumit dan punya latar-belakang politik dan sejarah yang panjang dan berliku-liku. Jadi, masalah G30S bukanlah masalah yang sederhana. Dan, karenanya, makin banyak kalangan mempersoalkan berbagai aspek G30S adalah makin baik bagi bangsa dan generasi yang akan datang.
FAKTOR DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI
Peristiwa G30S, seperti banyak persoalan besar lainnya, dipengaruhi berbagai faktor sejarah, dan faktor dalamnegeri dan luarnegeri. Di antara faktor-faktor itu terdapat faktor Bung Karno; yang merupakan lambang terpusat perjuangan nasional untuk kemerdekaan melawan kolonialisme dan imperialisme (ingat pidato Bung Karno „Indonesia menggugat“ dan kumpulan pidato-pidato beliau dalam „Di bawah Bendera Revolusi¨. Ada juga faktor-faktor PKI, sebagian golongan Islam dan Angkatan Darat. Di samping itu, ada faktor perang dingin, sebagai perkembangan internasional penting sesudah Perang Dunia ke-II. Saling keterkaitan berbagai faktor dalamnegeri dan faktor luarnegeri ini tercermin di Indonesia dalam peristiwa-peristiwa penting, antara lain (sekadar menyebutkan sejumlah kecil contoh-contohnya) : revolusi 45, Konferensi Bandung 1955, pembrontakan PRRI-Permesta, politik konfrontasi Malaisia, Trikora, perang Vietnam, masalah Taiwan, hubungan Indonesia-RRT
Di antara faktor-faktor dalamnegeri adalah naiknya prestise PKI sesudah pemilu tahun 1955. Kenaikan prestise PKI ini membikin tidak senangnya sebagian dari TNI-AD, dan juga sebagian negeri-negeri Barat. Sejumlah perwira-perwira TNI-AD, dengan mendapat sokongan Amerika Serikat (CIA) melakukan pembrontakan terhadap pemerintahan pusat di tahun 1958, dengan mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang disokong oleh partai politik Masjumi dan PSI. (Ingat juga peristiwa penerbang AS Allan Pope yang ditembak jatuh di Ambon tahun 1958).
Bung Karno, yang waktu itu merupakan tokoh internasional dalam melawan imperialisme dan kolonialisme (ingat, antara lain: gerakan Non-blok, Ganefo, Konferensi Wartawan Asia-Afrika, Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing) mendapat dukungan yang besar dari PKI. Berbagai politik Bung Karno jelas-jelas tidak menguntungkan kepentingan sejumlah negeri-negeri Barat. Politik negeri-negeri Barat tertentu ini punya pengikut juga di Indonesia, termasuk di kalangan Angkatan Darat dan sebagian golongan Islam.
MENGHANCURKAN PKI UNTUK MENGGULINGKAN BUNG KARNO
Dalam jangka waktu lama sekali (lebih dari 32 tahun), para pendiri rezim militer Orde Baru menyajikan kepada opini umum bahwa persoalan G30S adalah terutama berkaitan dengan PKI. Bahkan, nama resmi yang diberikan kepada peristiwa ini adalah GESTAPU/PKI. Tetapi, dalam berbagai kesempatan, pimpinan Angkatan Darat dan para pendukung Orde Baru lainnya menuduh bahwa dalam peristiwa ini Bung Karno „terlibat“, atau tidak mau bertindak tegas, atau bahkan bersimpati kepada PKI. Selalu dikemukakan oleh mereka bahwa PKI adalah dalang G30S atau penggeraknya. Bahwa sejumlah pimpinan PKI terlibat dalam rencana sejumlah perwira-perwira militer untuk mencetuskan G30S ini telah diakui sendiri oleh para pemimpin PKI. Tetapi, tidaklah bisa dikatakan bahwa PKI sebagai partai secara keseluruhan ikut terlibat dalam G30S.
Sampai sekarang, banyak sekali hal yang bersangkutan dengan G30S yang masih tetap menjadi misteri atau masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas. Misalnya : sampai di manakah kebenaran berita bahwa Dewan Jenderal mau mengadakan kudeta? Siapakah sebenarnya Syam Kamaruzaman itu? Apakah Suharto sudah mengetahui rencana G30S? Sampai di manakah CIA tersangkut dalam peristiwa ini? Apa sajakah peran Bung Karno dalam menghadapi G30S dan sesudahnya?
ARTI TERGULINGNYA BUNG KARNO DAN HANCURNYA PKI
Sedikit demi sedikit, dan berangsur-angsur, sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan itu sudah mulai ada jawabannya. Meskipun masih banyak soal G30S yang belum jelas benar duduk perkaranya, tetapi satu hal sudah pasti, yaitu bahwa rezim militer Suharto dkk menjadikan masalah ini sebagai kesempatan untuk menghancurkan PKI dan melalui kehancuran PKI ini untuk kemudian menggulingkan Bung Karno. Dan hal yang sudah pasti lainnya, yalah bahwa hancurnya kekuatan PKI dan jatuhnya Bung Karno adalah merupakan „kemenangan¨ kubu imperialis, yang diketuai oleh AS.
Jadi, sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa dalam meninjau masalah G30S kita harus juga berusaha memperhitungkan faktor Bung Karno. Sebab, akhirnya, nasib Bung Karno terkait erat juga dengan peristiwa G30S ini. Para pendukung rezim militer Suharto memberi julukan „Gestapu Agung“ kepada Bung Karno, dan kemudian digulingkan dari kedudukan beliau sebagai presiden. Beliau telah dikenakan tahanan rumah secara ketat, sesudah dijadikan sasaran demontrasi yang terus-menerus digerakkan oleh pimpinan Angkatan Darat. Bung Karno, panglima tertinggi ABRI, meninggal dalam tahanan Angkatan Darat sesudah mengalami berbagai siksaan batin dan jasmani.
Rezim militer Suharto dkk yang didukung oleh Angkatan Darat dan Golkar sebagai tulang-punggung telah bertindak secara amat kejam dalam menumpas kekuatan PKI. Dengan tujuan utama menyingkirkan Bung Karno dari tampuk pimpinan negara dan bangsa, maka Suharto dkk menghancurkan lebih dahulu kekuatan PKI. Sebab, jelas bahwa sejak akhir tahun 50-an dan permulaan tahun 60-an PKI merupakan kekuatan pendukung politik Bung Karno yang paling gigih (ingat, antara lain : Manipol, Nasakom, Resopim, Trikora, Dwikora, Indonesia keluar dari PBB). Dan berbagai politik Bung Karno ini pada umumnya, atau pada pokoknya, adalah anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Karena itulah Bung Karno punya cukup banyak musuh, baik di luarnegeri maupun di dalamnegeri.
POLITIK BUNG KARNO ADALAH KIRI
Memang, sikap politik Bung Karno adalah pada pokoknya „kiri“. Politik „kiri“ yang dianutnya sejak tahun-tahun mahasiswa inilah yang membikin beliau seorang pejuang nasionalis yang besar. Kebesaran Bung Karno adalah berkat sikap politik beliau yang „kiri“, yang anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, yang pro-rakyat. Sikap inilah yang dipertahankannya sampai terjadinya G30S. Dalam rangka ini perlu dicatat diselenggarakannya Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing KIAPMA, permulaan Oktober 1965, di Hotel Indonesia Jakarta, yang dibuka oleh Bung Karno. Konferensi internasional ini penyelenggaranya adalah Indonesia dan sasaran utamanya adalah Amerika Serikat.
Jadi, dalam meninjau masalah G30S, di samping menyorotinya dari segi pertentangan antara segolongan Angkatan Darat dan PKI waktu itu, kita perlu sekali memperhitungkan di dalamnya juga faktor Bung Karno dan faktor internasional (baca: perang dingin), yang merupakan latar-belakang yang juga cukup penting. Berbagai aspek G30S punyai kaitan yang erat dengan perang dingin. Karena itu, hancurnya kekuatan PKI dan digulingkannya Bung Karno oleh Suharto dkk adalah peristiwa penting yang menggembirakan bagi negara-negara Barat
Dari segi inilah kita dapat melihat mengapa dalam jangka lama rezim militer Suharto mendapat simpati, atau dukungan, atau bantuan dalam berbagai bentuk dan cara dari negara-negara Barat (terutama AS). Hancurnya kekuatan yang mendukung politik Bung Karno menyebabkan kemunduran besar dalam gelora perjuangan rakyat berbagai negeri melawan imperialisme dan kolonialisme. Itulah sebabnya, selama masa Orde Baru jiwa Konferensi Bandung menjadi loyo atau apinya jadi padam. Rezim militer Suharto dkk membikin akibat G30S sebagai sarana untuk menghapus-kan arti penting dan bersejarah Konferensi Bandung. Ini wajar. Sebab semangat Konferensi Bandung adalah justru bertentangan sama sekali dengan tujuan politik rezim militer ini. Semangat konferensi Bandung banyak dijiwai oleh semangat „kiri“ Bung Karno.
SUHARTO BUKANLAH PAHLAWAN BANGSA
Dalam mengenang kembali berbagai peristiwa yang berkaitan dengan G30S tahun 1965, sudah tentu saja kita harus menggugat pembunuhan besar-besaran - dan segala macam siksaan yang tidak berperi-kemanusiaan terhadap jutaan manusia tidak bersalah oleh militer dan para pendukung Suharto dkk . Menggugat masalah ini adalah kegiatan penting untuk mengingatkan bangsa kita supaya kebiadaban besar-besaran yang pernah terjadi di kalangan bangsa kita itu tidak terjadi lagi di kemudian hari. Bukan itu saja. Menggugat berbagai kejahatan Suharto sekitar peristiwa G30S ini juga perlu untuk meyakinkan banyak orang bahwa Suharto dkk bukannya „pahlawan bangsa¨ yang patut disanjung-sanjung seperti selama puluhan tahun itu.
Sekarang makin banyak bukti yang nyata bagi banyak orang bahwa Suharto bukanlah „bapak pembangunan“, bukan pula Pancasilais sejati. Banyaknya cerita yang berbau busuk sekitar keluarganya (ingat: kasus Ibu Tien, Sigit, Tutut, Bambang, Tommy, Ari, Probosutedjo dll) meyakinkan banyak orang bahwa Suharto adalah seorang kepala keluarga yang tidak pantas dijadikan contoh bangsa. Selama lebih 32 tahun Suharto, yang mengkhianati Bung Karno ini, telah disanjung-sanjung oleh para pendukung Orde Baru.
Sudah terlalu lama G30S telah dijadikan dalih atau alasan oleh Suharto dkk untuk menyebar racun perpecahan, dengan indoktrinasi yang menyesatkan tentang Bung Karno dan pendukung utamanya (PKI). Indoktrinasi ini, yang dijalankan secara besar-besaran dan dalam jangka yang lama sekali, menimbulkan kerusakan mental yang besar sekali. Indoktrinasi lewat buku-buku di sekolah, lewat film dan televisi, lewat ceramah atau seminar dan bermacam-macam kursus, telah membikin „buta“ banyak orang. Sampai sekarang, dalam masyarakat kita, masih banyak orang yang terpengaruh oleh indoktrinasi Orde Baru tentang Bung Karno dan PKI ini. Mereka ini terdapat di berbagai partai politik, badan pemerintahan, DPR/DPRD, ornop, kalangan agama (termasuk kalangan Islam)
GUNAKAN 3O SEPTEMBER UNTUK MENGGUGAT ORBA
Sekarang ini terbukalah kesempatan untuk menyajikan kepada bangsa Indonesia hal-hal yang selama ini ditutup-tutupi atau dipalsu oleh Orde Baru mengenai G30S. Kita semua harus berusaha membongkar, sejauh mungkin, latar-belakang peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia ini. Antara lain, kita harus membikin 30 September jadi hari menggugat berbagai kejahatan rezim militer Suharto dkk. Menggugat berbagai kejahatan rezim militer Suharto dkk ini adalah kewajiban kita semua. Ini perlu kita lakukan, demi pelurusan sejarah, demi rekonsiliasi nasional, demi persatuan bangsa, dan demi pendidikan generasi yang akan datang. Generasi muda kita, dan generasi yang akan datang, tidak boleh diracuni oleh segala pembusukan yang telah terjadi selama Orde Baru
Dalam rangka ini pulalah tulisan kali ini menyambut adanya kegiatan-kegiatan di berbagai tempat di Indonesia untuk menjadikan tanggal 30 September sebagai hari untuk membongkar berbagai kejahatan Orde Baru terhadap peri-kemanusiaan. Di antara kegiatan-kegiatan itu terdapat pertemuan “Mengungkap Tabir '65” di Jakarta (tanggal 29-30 September) yang diselenggarakan oleh Lakpesdam NU, Yappika, Elsam, SNB, PEC, Pakorba,
LPRKROB, LPKP, JKB dll.
Tabir 65 ? memang harus dibuka. Dan, seluas-luasnya.
Paris, 26 September 2003
http://kontak.club.fr/Pulihkan_nama_baik_Bung_Karno_dan_cabut_TAP_MPRS_033-1967.htm
PULIHKAN NAMA BUNG KARNO!
DAN CABUT TAP MPRS 33/1967!
( Oleh :A. Umar Said )
Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (12)
Di antara berbagai kegiatan dalam rangka peringatan HUT ke-100 Bung Karno yang akan datang ini ada satu satu hal penting yang patut mendapat perhatian seluruh kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi, yaitu: menjadikan kesempatan yang bersejarah ini untuk mulai dilancarkannya gerakan besar-besaran untuk menuntut dicabutnya Ketetapan MPRS nomor 33/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno. Sebab, dewasa ini, dalam perjuangan nasional untuk me-reformasi segala produk atau akibat buruk politik Orde Baru, masalah dicabutnya TAP MPRS 33/1967 tentang Presiden Sukarno adalah termasuk agenda yang sangat penting.
Tuntutan dicabutnya TAP MPRS 33/1967 ini sudah juga diajukan oleh Keluarga Besar Bung Karno, melalui Rachmawati Soekarnoputri. Menurut berita pers, ketua Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS), (Rachmawati) tanggal 6 Mei 2001 telah bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka selama 2 jam. Dalam pertemuan tersebut, Rachmawati menyampaikan surat permohonan pencabutan TAP MPRS 33/1967 itu dalam rangka memperingati seratus tahun Bung Karno, yang jatuh pada tanggal 6 Juni 2001 (Kompas 8 Mei 2001)
Kalau dipandang dari berbagai segi, tuntutan Rachmawati kepada Presiden Abdurrahman Wahid supaya TAP MPRS 33/1967 dicabut adalah persoalan besar. Sebab, masalah ini berkaitan dengan pentingnya mengkoreksi salah satu dari begitu banyaknya kesalahan-kesalahan Orde Baru, yang dampak buruknya masih terasa sampai sekarang. Artinya, masalah Bung Karno adalah juga MASALAH KINI, atau, setidak-tidaknya, mempunyai hubungan erat sekali dengan masa sekarang.
Oleh karena itu, walaupun kasus TAP MPRS 33/1967 sudah terjadi lebih dari 30 tahun yang lalu, adalah penting sekali bagi para pakar sejarah, pakar hukum, pakar ilmu sosial (dan para pakar di bidang-bidang lainnya), untuk bersama-sama dengan berbagai kalangan masyarakat (universitas, LSM, pesantren, ornop lainnya dll) mengangkat masalah ini, untuk dipelajari kembali atau untuk dipersoalkan kembali. Dengan mengangkat kembali masalah ini tinggi-tinggi di depan opini publik, maka gerakan atau tekanan dapat digalang bersama-sama, sehingga akhirnya TAP MPRS 33/1967 dapat dicabut.
APAKAH TAP MPRS 33/1967 ITU ?
Sidang Istmewa MPRS Tahun 1967 telah diselenggarakan oleh para pendiri Orde Baru di Jakarta antara 7 sampai 12 Maret (1967). Perlu diingat bersama-sama terlebih dulu, bahwa walaupun „resminya“ Bung Karno waktu itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, tetapi sebenarnya kekuasaannya sudah diperlemah oleh Suharto dkk sejak Oktober 1965, setelah terjadinya G30S (atau Gestok, menurut Bung Karno). Kekuasaan Bung Karno kemudian dipreteli secara lebih besar-besaran oleh Suharto dkk dengan dikeluarkannya - secara paksa atau dengan intimidasi - Surat Perintah Sebelas Maret dalam tahun 1966, yang kontroversial itu.
Dengan Super Semar inilah Suharto dkk telah membubarkan PKI (tanggal 12 Maret 1966) beserta seluruh ormas-ormasnya, sesudah berbulan-bulan - sejak Oktober 1965 ratusan ribu manusia tidak bersalah telah dibunuhi secara besar-besaran dengan cara-cara yang tidak perlu lagi disebutkan dalam tulisan ini. Kemudian ia menangkapi juga menteri-menteri dan anggota-anggota DPR-GR yang mewakili PKI, PNI atau ormas kiri. Suharto dkk juga mengangkat 136 anggota MPRS (yang baru, yang terdiri dari orang-orang „mereka“) untuk mengganti mereka yang sudah „dibersihkan“ terlebih dulu. Padahal, Suharto semestinya tidak berhak melakukan hal yang demikian itu.
Maka, MPRS yang demikian itulah yang dalam bulan Maret 1967 telah memutuskan TAP nomor 33/1967 , yang dalam pasal nomor 3-nya berbunyi: “Melarang Presiden Sukarno melakukan politik sampai dengan pemilu dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD 1945”. Dalam pasal 4 TAP MPRS itu disebutkan bahwa Jenderal Suharto diangkat sebagai Pejabat Presiden sehingga dipilihnya Presiden oleh MPRS hasil Pemilu.
Nah, dengan TAP 33/1967 yang dibikin oleh “MPRS” yang legitimasinya semacam itulah (!!!) segala kekuasaan Bung Karno sebagai kepala negara, pemimpin besar revolusi, dan panglima tertinggi Angkatan Bersenjata telah dilucuti. Mereka yang membikin TAP untuk melucuti kekuasaan Bung Karno itu adalah “wakil-wakil rakyat”, yang telah digiring oleh TNI-AD dalam suasana terror yang sedang melanda seluruh negeri waktu itu. Lewat kampanye besar-besaran anti-PKI telah diselipkan juga kampanye anti-Sukarno dalam berbagai bentuk. (Bagi mereka yang kini sudah agak lanjut usia, tentunya masih terngiang-ngiang di telinga mereka slogan-slogan “Sukarno Gestapu Agung¨, “Sukarno dalang Gestapu” dll).
PUNCAK KUDETA “MERANGKAK”
TAP MPRS 33/1967 yang “memecat¨ Bung Karno sebagai presiden RI ini merupakan puncak dari sederetan panjang pembangkangan (insubordinasi) Suharto dkk kepada Bung Karno sebagai kepala negara dan panglima tertinggi. Berbagai pembangkangan ini secara nyata sudah dimulai sejak 1 Oktober 1965, (sesudah pecahnya G30S). Sejumlah perintah Bung Karno tidak dilaksanakan oleh Suharto dkk. Sebaliknya, Suharto dkk melakukan banyak langkah-langkah yang bertentangan dengan kemauan atau politik Bung Karno. (Dewasa ini, amatlah penting adanya suatu studi yang menyeluruh tentang berbagai pembangkangan Suharto dkk terhadap Bung Karno ini, yang perlu dilakukan oleh para pakar hukum dan militer, oleh masyarakat sejarawan dll).
TAP MPRS 33/1967 untuk menggulingkan Bung Karno adalah realisasi “kudeta merangkak¨ secara “konstitusional” yang dipersiapkan dan dilaksanakan oleh pimpinan TNI-AD waktu itu. Ketetapan MPRS ini adalah manifestasi terpusat pertentangan antara garis politik revolusioner anti-imperialis Bung Karno berhadapan dengan sikap pimpinan TNI-AD yang anti-politik Bung Karno dan sekaligus anti-PKI. Ketetapan MPRS 33/1967 ini adalah pengejawantahan titik pertemuan antara kepentingan kekuatan asing (imperialisme dan neo-kolonialisme) dan kekuatan kontra-revolusi dalamnegeri. Apa yang tidak bisa dicapai oleh berbagai gerakan kontra-revolusi (terutama sekali PRRI-Permesta) telah tercapai oleh ketetapan MPRS ini, dalam situasi yang baru dan oleh pelaku-pelaku yang berbeda. Ringkas-padatnya, ketetapan ini adalah pengkhianatan terhadap revolusi 45, artinya pengkhianatan kepada bangsa.
Karena hebatnya indoktrinasi beracun Orde Baru/GOLKAR yang dibarengi oleh pemalsuan sejarah dalam tempo yang begitu lama (lebih dari 32 tahun!) maka banyak orang yang kabur atau bahkan keliru memandang persoalan ketetapan MPRS 33/1967. Berseberangan dengan apa yang selama ini didengung-dengungkan oleh Orde Baru/GOLKAR, penggulingan Bung Karno bukanlah tindakan untuk menyelamatkan republik kita, bahkan merusaknya. Apa yang kita saksikan dewasa, dengan timbulnya begitu banyak persoalan parah yang sedang melanda negara dan bangsa, adalah buktinya.
Oleh karena itu, tergulingnya Bung Karno secara definitif oleh ketetapan MPRS 33/1967 adalah MASALAH BESAR dalam sejarah bangsa Indonesia. Memang, pertama-tama, TAP 33/1967 adalah urusan keluarga Bung Karno sendiri (putera-puterinya atau saudara-saudara terdekatnya yang lain). Tetapi, di samping itu, masalah ini adalah juga urusan banyak orang lainnya. Masalah Bung Karno bukanlah hanya urusan para pengikut Marhaenisme atau para pendukung politiknya saja! Yang menderita (secara lahiriyah atau bathiniyah) atau yang dirugikan oleh TAP 33/1967 berjumlah puluhan atau ratusan juta orang. Bahkan, bukan itu saja!!! Kalau kita renungkan dalam-dalam, yang dirugikan oleh TAP 33/1967 adalah perjuangan bangsa sebagai keseluruhan.
BUNG KARNO ADALAH KORBAN KONTRA-REVOLUSI
Anak-judul tulisan ini mungkin mengagetkan orang-orang tertentu, atau, setidak-tidaknya, membikin mereka bertanya-tanya apakah memang benar demikian adanya. Bahwa Bung Karno menjadi sasaran imperialisme, mungkin masih agak mudah dimengerti oleh banyak orang. Tetapi, bahwa ia juga menjadi sasaran kontra-revolusi dalamnegeri yang bernama ORDE BARU/GOLKAR adalah suatu hal yang, agaknya, masih belum difahami secara jelas oleh sebagian orang. Padahal, kalau dilihat dari perjalanan sejarah hidup Bung Karno, maka jelas sekalilah bahwa ia telah sering sekali menjadi sasaran berbagai serangan kontra-revolusi dalamnegeri. Dan, kalau kita tinjau perjalanan sejarah bangsa dan juga mengingat tujuan Revolusi 17 Agustus 45, maka jelaslah bahwa Bung Karno akhirnya telah menjadi korban satu kontra-revolusi dalamnegeri yang paling besar dalam sejarah Republik Indonesia. Kontra-revolusi yang paling besar itu bernama : ORDE BARU (artinya: Golkar).
Dari apa yang sudah dilakukan oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR terhadap Bung Karno sebagai kepala negara dan pemimpin bangsa dalam tahun 1965,1966 dan 1967, maka jelaslah bahwa Orde Baru/GOLKAR adalah, pada hakekatnya, suatu KEKUATAN KONTRA-REVOLUSIONER. Jati-diri Orde Baru/ GOLKAR sebagai kontra-revolusi besar-besaran itu tidak hanya dimanifestasikan dalam aksi-aksi para pendirinya dalam melumpuhkan kekuatan pendukung Bung Karno dalam tahun 1965 dan 1966, melainkan juga dalam menggulingkan ¡§secara konstitusional¡¨ Bung Karno dalam tahun 1967. Kemudian, jati-diri Orde Baru/GOLKAR sebagai kekuatan kontra-revolusioner itu dimanifestasi-kannya lebih jelas lagi dalam berbagai politiknya atau prakteknya, terus-menerus, selama lebih dari 32 tahun.
Adalah penting sekali bagi bangsa kita, dewasa ini maupun di kemudian hari, untuk menghayati bahwa Orde Baru adalah satu kekuatan kontra-revolusi yang paling ganas, yang paling besar, dan yang mempunyai ciri-ciri fasis. Mengerti secara jelas bahwa Orde Baru/GOLKAR adalah, pada intinya, suatu KONTRA-REVOLUSI ini sangat diperlukan untuk mengerti pula, mengapa Bung Karno telah digulingkan, dan mengapa untuk menggulingkannya itu perlu sekali dihancurkan terlebih dulu kekuatan pendukungnya, terutama PKI. Juga mengerti bahwa yang menjadi korban penggulingan Bung Karno bukannya hanya para pendukungnya saja, melainkan juga mereka yang tidak menyukai politiknya. Karena, sistem politik Orde Baru/GOLKAR adalah regime militer diktatorial atau otoriter yang menindas seluruh bangsa, dan hanya menguntungkan sebagian kecil sekali golongan masyarakat.
MENGAPA TAP 33/1967 HARUS DICABUT
Perjuangan untuk dicabutnya TAP MPRS 33/1967 mempunyai arti besar bagi bangsa kita yang sedang memperjuangkan reformasi. Perjuangan ini tidak mudah, mengingat masih banyaknya kekuatan sisa-sisa Orde Baru/GOLKAR di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan juga di antara tokoh-tokoh masyarakat. Karenanya, juga akan makan waktu lama, barangkali. Tetapi, pekerjaan ini perlu dilakukan juga terus-menerus, dan dalam berbagai bentuk dan cara. Sebab, memperjuangkan dicabutnya TAP MPRS 33/1967 merupakan pendidikan politik bagi banyak orang, dan juga satu cara untuk menghormati Bung Karno sebagai guru pemersatu bangsa
Di samping itu, dalam proses memperjuangkan dicabutnya TAP tersebut maka berbagai masalah penting lainnya akan selalu terungkap terus juga, yang menunjukkan watak yang sebenarnya Orde Baru/GOLKAR. Umpamanya, bahwa TAP 33/1967 adalah kelanjutan logis dari tindakan buruk lainnya yang dilakukannya sebelumnya, yaitu TAP 25/1966 mengenai dilarangnya PKI dan penyebaran Marxisme. TAP MPRS tentang larangan PKI ini jelas sekali bertentangan sekali dengan politik Bung Karno, dan jelas juga bahwa Bung Karno tidak menyetujuinya.
Perlulah difahami oleh sebanyak mungkin orang, bahwa digulingkannya Bung Karno dengan TAP 33/1967 adalah, antara lain karena sikapnya yang tidak mau membubarkan PKI. Di sinilah letak keteguhan Bung Karno dalam mempertahankan prinsip-prinsip perjuangan yang sudah diembannya sejak umur 26 tahun sampai akhir hayat hidupnya. Sejak muda ia meyakini pentingnya persatuan revolusioner nasional, pentingnya kerjasama antara golongan nasionalis, agama dan komunis, dalam menghadapi tugas-tugas perjuangan bangsa.
Karena prinsip-prinsipnya inilah, karena gagasan besarnya inilah, dan juga karena keteguhannya dalam mencengkam pendiriannya inilah maka ia bersedia bertahun-tahun masuk dalam penjara dan pembuangan pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan, dan di sinilah kehebatan Bung Karno: karena teguh pada pendiriannya inilah maka sampai akhir hidupnya ia tidak mau mengkhianati PKI, sebagai salah satu di antara pendukung perjuangan politiknya.
Dalam kaitan ini, adalah menarik untuk dikutip satu bagian kecil pidato pembelaan Sudisman, salah satu dari pimpinan PKI didepan Mahmilub tanggal 21 Juni 1967, yang berbunyi :
Saya dan PKI tidak pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini, atau agung itu, sebab gelar satu-satunya yang tepat adalah „Bung Karno“ sehingga nama Bung Karno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran) ke Bung Karno (artinya bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang revolusioner, justru dalam keadaan sulit seperti sekarang inilah saya terus membela dan mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa „in de nood leert men zijn vrienden kennen“ (dalam kesulitan kita mengenal kawan) dan „yo sanak yo kadang, yen mati aku sing kelangan“ kata bung Karno untuk PKI.
Sebagai arek Surabaya, saya sambut uluran tangan Bung Karno dengan „ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek kancane“ (artinya tidak bisa lupa sama kawannya). Kenapa saya bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya yalah sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti-imperialis sampai berani menyemboyankan „go to hell with your aid“ terhadap imperialis Amerika Serikat. Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa feodal dengan mengadakan landreform terbatas dan Bung Karno setia pada persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk „Barisan Sukarno“ (kutipan habis).
Para pembaca yang budiman! Bagian terakhir tulisan ini diketik sambil menikmati latar-belakang suara yang keluar dari casette yang memperdengarkan pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB tahun 1960. Ketika mendengarkan dan merenungkan isi pidato Bung Karno itu, maka hati penulis dipenuhi oleh perasaan bangga, geram, senang dan berang. Alangkah bagusnya bahasa Inggrisnya Bung Karno. Alangkah indahnya kalimat-kalimat dalam pidatonya. Alangkah mendalamnya arti isi berbagai bagian pidatonya itu. Alangkah besarnya wawasan politik dan pendekatan falsafahnya ketika berbicara tentang berbagai masalah dalamnegeri Indonesia dan juga berbagai masalah internasional dewasa itu.
Dalam pidatonya itu ia dengan bagus sekali mengangkat masalah pentingnya menghubungkan perjuangan nasional setiap bangsa dan rakyat dengan perjuangan bangsa lain, pentingnya setiap bangsa berdiri di atas kaki sendiri tetapi juga kerjasama dengan negeri lain. Ia menjelaskan, dengan cara yang mempesonakan, perjuangan rakyat Aljazair, Congo dll melawan kolonialisme. Adalah dengan keberanian dan ketegasan yang menonjol sekali ketika ia mengecam PBB (setengah memperolokkannya!) karena masih mengucilkan RRT dari keanggotan PBB. Di depan sidang PBB itu, ia mengajukan kritik-kritik pedas terhadap imperialisme. Ketika mendengar tepuk-tangan yang begitu meriah berkali-kali selama pidatonya itu, hati pun ikut melonjak-lonjak karena bangga.
(Catatan selingan : Penulis makin yakin, bahwa untuk mengerti tentang kebesaran Bung Karno, perlulah membaca karya-karya dan mendengar pidato-pidatonya. Kebesaran Bung Karno bukan karena bagusnya tulisan dan pidato-pidatonya saja, melainkan berkat isinya yang dalam dan memberikan inspirasi. Bukan itu saja! Kebesarannya adalah juga berkat ketulusan perjuangannya, satunya antara kata dan perbuatan dalam mengabdi kepada kepentingan bangsa. Oleh karena itu bacalah karya-karyanya, dan dengarkanlah pidato-pidatonya, para saudara!)
Sesudah mendengar pidatonya di depan PBB itu, maka nyatalah bagi penulis bahwa Bung Karno memanglah tokoh besar bangsa Indonesia, yang sampai sekarang belum ada tandingnya. Dan ketika merenungkannya, maka dalam hati penulis timbul juga rasa marah. Alangkah besarnya kerugian bangsa kita karena kehilangan orang yang sebesar itu, gara-gara kontra-revolusi yang mengkhianatinya! Dan yang lebih membikin geram adalah bahwa Bung Karno telah dijatuhkan dan kemudian hanya diganti oleh ¡§kepala negara¡¨ yang berkelakuan sebagai kriminal kaliber besar (ingat : kasus pengumpulan kekayaan secara tidak sah serta berlebih-lebihan) dan diktator yang bertindak secara fasis (ingat : kasus berbagai pelanggaran HAM selama puluhan tahun).
Bung Karno telah mengangkat derajat dan harga diri bangsa, melalui perjuangannya puluhan tahun sejak muda. Tetapi, seperti hasilnya yang bisa kita saksikan bersama dewasa ini, Suharto dkk. lewat Orde Baru/GOLKAR-nya bertindak sebaliknya : membikin terpuruknya bangsa, baik di skala nasional maupun internasional!
Mengingat itu semua, maka adalah kewajiban yang benar (dan adil!) bagi semua orang yang mendambakan dipulihkannya nama Bung Karno untuk aktif berpartisipasi dalam gerakan untuk menuntut dicabutnya TAP 33/1967. Perjuangan ini adalah untuk kebaikan kita semua, baik untuk generasi sekarang, maupun generasi yang akan datang.
Paris, 9 Mei 2001
********************************
Ajakan renungan . Umar Said
(Tulisan berikut di bawah ini juga disajikan dalam website
http://perso.club-internet.fr/kontak/

PENGALAMAN KORBAN PERISTIWA 65 - ADALAH GURU BESAR BANGSA
Ketika kita memperingati “40 tahun peristiwa 65” apa sajakah yang perlu kita kenang kembali atau kita tarik sebagai pelajaran penting bagi bangsa kita dewasa ini dan juga untuk anak-cucu kita di kemudian hari ? Boleh dikatakan, semuanya! Semua soal yang berkaitan dengan peristiwa 65 adalah penting. Karena itu, peristiwa 65 adalah rumit, dan bersegi banyak. Dalam persoalan besar yang sangat bersejarah bagi bangsa dan Republik Indonesia ini ada aspek PKI, ada aspek Bung Karno, aspek TNI-AD, aspek Suharto, aspek golongan Islam, aspek CIA. Di dalamnya terdapat juga faktor sejarah, faktor politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dan semuanya itu ada sangkut-pautnya - secara langsung atau tidak langsung - dengan banyak persoalan dalamnegeri dan internasional pada waktu itu.
Mengingat begitu besar dampak peristiwa 65 untuk kehidupan bangsa kita, maka sebaiknya (atau sepatutnya) makin banyak orang bisa menulis tentang itu semua. Sehingga berbagai masalah peristiwa 65 bisa dilihat secara betul-betul jernih dan juga secara menyeluruh. Karena, seperti kita saksikan sendiri masing-masing selama ini, banyak sekali soal yang berkaitan dengan peristiwa 65 telah diputar-balikkan, direkayasa, dipalsukan, dibohongkan, disulap dan “divermaak” oleh Orde Baru. Dan dalam jangka waktu yang lama sekali pula, yaitu lebih dari 32 tahun !!! Jadi, tidak tanggung-tanggung.
Dalam tulisan yang kali ini titik berat diletakkan pada ajakan kepada semua untuk merenungkan bersama masalah penganiayaan dan penyiksaan dilakukan oleh para pembangun rejim militer Orde Baru. Karena, penganiayaan biadab dan penyiksaan sadis adalah salah satu di antara banyak “senjata ampuh” yang dipakai oleh Orde Baru dalam melumpuhkan kekuasaan Bung Karno dan dalam memukul PKI beserta pendukung-pendukungnya. dan penyiksaan (yang dilakukan dalam berbagai bentuk) adalah suatu cara rejim militer Orde Baru untuk kemudian melakukan terror permanen di seluruh negeri, guna memperkokoh cengkeraman kekuatan militernya. Dalam arti tertentu, bisalah kiranya disimpulkan bahwa penganiayaan dan terror adalah satu dan senyawa dengan Orde Baru.
PUNCAK KEBIADABAN DALAM SEJARAH BANGSA
Barangkali, penganiayaan dan penyiksaan oleh kesatuan-kesatuan TNI-AD (dan kalangan kecil dari golongan Islam) terhadap anggota, simpatisan kader-kader PKI dan pendukung Bung Karno, merupakan puncak kebiadaban yang pernah dibikin oleh segolongan kecil bangsa kita.terhadap sesama warganegara. Dan, mungkin juga, puncak kebiadaban yang mengerikan ini adalah satu-satunya yang muncul dalam sejarah bangsa Indonesia. Mudah-mudahan, Insya Allah!
Kalau mengingat betapa hebatnya penganiayaan atau sadisnya penyiksaan terhadap begitu banyak orang yang ditangkap dan diinterogasi oleh aparat militer maka kita bisa bertanya-tanya apakah bangsa kita ini masih pantas dinamakan bangsa yang beradab? Apakah kita bisa membanggakan diri sebagai bangsa yang majoritasnya pemeluk agama?
Selama 32 tahun pemerintahan rejim militer Suharto dkk orang tidak bisa dan juga tidak berani buka suara tentang kebiadaban, kebuasan, dan kebengisan yang terjadi dalam tahun-tahun pertama ketika Suharto dkk menyerobot kekuasaan dari tangan Bung Karno. Sebab, berani buka suara waktu itu berarti pasti menghadapi penangkapan dan penganiayaan.
Baru setelah Suharto dengan Orde Barunya dipaksa turun dari kekuasaan dalam tahun 1998, sedikit demi sedikit muncullah beraneka ragam cerita dan kesaksian tentang betapa hebatnya penganiayaan dan penyiksaan terhadap para korban. Sebagian kecil sekali dari cerita dan kesaksian ini sudah mulai diketahui oleh publik melalui, antara lain, artikel atau tulisan dalam majalah, memoire dalam bentuk buku.
Mengingat banyaknya kasus penganiayaan dan hebatnya penyiksaan, dan mengingat juga besarnya orang yang telah menderita perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini, maka kiranya kita semua perlu mendorong sebanyak mungkin orang untuk terus menulis tentang itu semua lebih banyak lagi. Menulis (atau menceritakan) tentang kebiadaban penganiayaan dan penyiksaan yang telah dilakukan oleh sebagian golongan militer (dan sebagian kecil golongan Islam pada waktu itu) merupakan tugas penting generasi bangsa kita dewasa ini. Sebab, kalau tugas penting ini tidak dikerjakan sekarang, maka saksi-saksi hidupnya akan makin berkurang atau banyak pelaku-pelaku sejarahnya yang sudah keburu meninggal dunia.
BESARNYA DAN LUASNYA PENGANIAYAAN
Sekadar untuk menyegarkan kembali ingatan kita bersama, pada akhir tahun 1965, dan dalam tahun-tahun 1966 dan 1967, hampir seluruh pemimpin dan kader PKI dari berbagai tingkat (propinsi, kabupaten, kota besar dan kota madya, kecamatan, bahkan kelurahan) di seluruh Indonesia ditangkapi secara besar-besaran dan ditahan secara sewenang-wenang dalam jangka waktu yang lama. Sebagian besar di antara mereka dibunuh begitu saja dengan cara-cara yang tidak berperi-kemanusiaan.
Banyak diceritakan sekarang bagaimana kejamnya siksaan terhadap mereka yang ditangkap itu selama diinterogasi. besar di antara mereka itu terdiri dari para pemimpin atau kader bermacam-macam organisasi buruh, tani, nelayan, wanita, pemuda, , tentara, pegawai negeri, dan golongan lainnya dalam masyarakat. Banyak di antara mereka yang disetrum listrik, disundut dengan puntung rokok, dipukuli dengan kawat berduri, digantung sampai berhari-hari, dipukuli beramai-ramai, ditusuk-tusuk dengan pisau atau bayonet, di-sel di ruangan gelap (tanpa sinar matahari sedikitpun) sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Sebagian di antara mereka disiksa di hadapan istri dan anak. Banyak yang sesudah disiksa tidak diberi pengobatan dan dibiarkan kesakitan sampai jangka lama. Banyak sekali orang tahanan yang tidak boleh berhubungan sama sekali dengan keluarganya. Tidak sedikit di antara tahanan wanita yang diperkosa atau dilecehkan kesusilaan mereka dengan berbagai cara. Semuanya ini sulit dibantah, karena saksi-saksinya masih ada, dan korban-korbannya pun banyak sekali yang masih bisa memberikan kesaksian.
Dampak siksaan atau penganiayaan ini besar sekali. Dari mulut ke mulut bocor juga berita tentang kekejaman yang diperlakukan terhadap para tahanan itu. Berita-berita inilah yang kemudian juga menimbulkan terror di kalangan keluarga (atau di kalangan teman-teman) yang ditahan. Ketakutan yang besar sekali terhadap militer menghinggapi kalangan luas dalam masyarakat di seluruh negeri waktu itu.
Dalam jangka lama semasa Orde Baru, tempat-tempat seperti Kodam, Korem dan Kodim di seluruh Indonesia merupakan sesuatu yang sangat ditakuti oleh banyak orang biasa. (Ditakuti, tetapi tidak berarti juga dihormati). Sebab, sering sekali, orang-orang yang ditahan oleh Kodim adalah orang-orang yang dianggap mem-punyai masalah. Masalah yang berkaitan dengan “keamanan”, yang arti polosnya yalah kekuasaan rezim militer.
Entah sudah berapa jumlah orang-orang yang pernah ditahan oleh Kodim (atau instansi militer bawahannya) di seluruh Indonesia. Seandainya tembok-tembok gedung Kodim di banyak tempat bisa bicara akan bisa menggigillah orang men-dengar kisah-kisah tentang hebatnya dan juga banyaknya siksaan biadab yang telah dilakukan oleh para petugas militer waktu itu.
KESAKSIAN PARA KORBAN ADALAH MILIK BERHARGA BANGSA
Kisah-kisah tentang penyiksaan atau penganiayaan oleh petugas-petugas militer ini sebenarnya sekarang ini dapat didengar dari banyak para korban peristiwa 65, para eks-tapol, dan juga keluarga mereka. Kesaksian mereka (beserta sanak-saudara mereka, dekat maupun jauh) adalah MEMOIRE KOLEKTIF dan merupakan milik berharga bangsa, baik bagi generasi yang sekarang maupun bagi anak-cucu kita.
Dari kisah mereka itu bangsa kita sekarang dan anak-cucu kita akan mengetahui dengan jelas bahwa TNI-AD pernah melakukan kejahatan besar-besaran dalam bentuk siksaan biadab atau penganiayaan sadis terhadap sesama warganegara. Kisah para korban peristiwa 65 adalah sarana pendidikan moral yang sangat ampuh, atau alat pemupukan rasa perikemanusiaan yang sangat ideal. Kisah para korban peristiwa 65 tentang penyiksaan dan penganiayaan merupakan juga contoh kongkrit atau nyata tentang pelanggaran perikemanusiaan.
Dari segi inilah kita bisa melihat pentingnya mendorong atau menganjurkan kepada para korban peristiwa 65 (termasuk sanak-saudara, dan juga teman-teman terdekat mereka) untuk berusaha mengangkat kisah-kisah sebenarnya tentang pengalaman mereka mengenai penyiksaan dan penganiayaan oleh militer, terutama sekali dalam tahun-tahun pertama terjadinya G30S.
Dalam kaitan ini kiranya perlu sekali kita renungkan bersama -- secara dalam-dalam -- soal berikut: pengangkatan kisah-kisah ini tidak dimaksudkan untuk tujuan nista, yaitu: mengungkit-ungkit dendam, atau membuka luka-luka lama, sekadar melam-piaskan kemarahan dan mengumbar hujatan, menyebar kebencian atau mengipasi permusuhan untuk tujuan luhur, yaitu : mengajak orang banyak untuk menjunjung tinggi-tinggi perikemanusiaan, mematuhi peradaban, memupuk rasa persaudaraan, dan menghormati perasaan keadilan, demi kebaikan bersama seluruh bangsa
Di samping itu, melalui kisah-kisah tentang penyiksaan dan penganiayaan ini kita bisa berusaha memberi sumbangan kepada reformasi di bidang jiwa dan moral di kalangan militer (teruatama kalangan TNI-AD), supaya tidak mengulangi lagi kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran berat yang sudah banyak dan sering sekali dilakukan semasa Orde Baru.
Sebab, seperti sudah kita saksikan sendiri selama ini, jelaslah kiranya bahwa, penyiksaan, dan penindasan, dan pemerkosaan, dan pemerasan, dan persekusi, dan intimidasi, adalah praktek-praktek yang banyak dilakukan oleh kalangan militer dalam jangka waktu puluhan tahun. Ini dialami sendiri dengan bukti-bukti yang nyata oleh banyak orang dari berbagai kalangan dan golongan di seluruh tanah air kita. Jadi, sekali lagi, fakta-fakta sejarah ini sulit sekali dibantah atau diungkiri.
Kalau dalam tahun-tahun pertama sesudah G30S tindakan yang biadab itu terutama sekali ditujukan kepada kader atau anggota dan simpatisan PKI dan pendukung Bung Karno, maka kemudian juga golongan-golongan lainnya yang dianggap berbahaya bagi rejim militer mendapat gilirannya. Itu sebabnya maka terjadi peristiwa-peristiwa berdarah di Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Madura. Yang terma-suk agak baru atau agak akhir adalah peristiwa di Timor Timur, kerusuhan rasial bulan Mei 1998, penculikan 14 anak muda PRD, penyerbuan gedung PDI di jalan Diponegoro, dan peristiwa Semanggi. Pembunuhan pejoang HAM, Munir, dalam tahun 2004, adalah bentuk yang lain lagi dari praktek biadab ini.
GURU BESAR SOAL PENYIKSAAN DAN PERIKEMANUSIAAN
Jadi, dalam rangka memperingati 40 tahun peristiwa 65 mengungkap kembali kebiadaban penyiksaan dan membeberkan kebuasan penganiayaan aparat militer terhadap para korban adalah perlu atau dan juga tepat waktunya. Membeberkan kebiadaban penganiayaan dan terhadap korban peristiwa 65 tidaklah bermaksud untuk “memojokkan” salah satu golongan, bukan pula untuk “menghina” salah satu aparat Negara. Apalagi, bukan juga untuk sekadar “menjelek-jelekkan atau “menodai” kehormatannya.
Justru kebalikannya!!! Kita, sebagai bangsa, tidak ingin kalau kejahatan-kejahatan monumental yang sudah dilakukan oleh golongan militer (terutama TNI-AD) selama masa Orde Baru bisa terulang lagi, baik sekarang maupun di masa-masa yang akan datang. Sebagai bangsa, kita butuhkan militer yang tidak berjiwa Orde Baru. Kita akan hormati militer yang anti-Orde Baru.
Kejahatan di masa yang lalu sudah makan terlalu banyak korban jiwa manusia. Dan penderitaan yang mengucurkan banyak airmata dan darah pun sudah berlangsung terlalu lama.
Tulisan ini diakhiri himbauan kepada para korban peristiwa 65 (termasuk juga para sanak-saudaranya dan teman-teman terdekatnya):
Pengalaman kalian adalah guru besar bangsa dalam soal-soal penderitaan dan perikemanusiaan! tanpa ragu-ragu pengalaman kalian sebagai sumbangan kepada pembangunan jiwa dan moral baru bangsa. Demi tercapainya masyarakat adil dan makmur, yang juga dijiwai sungguh-sungguh Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika!
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRw62LLwzYMHvI_Xy0jy3MjweM_rbt6060YiUVx0T9Wcp_YXllpMg data:image/jpeg;base64,/9j/4AAQSkZJRgABAQAAAQABAAD/2wCEAAkGBhQSERQUEhQVFBUUFRQXFhgXFRUVFhcXFBYVFBQXFhcXHCYeGBkjGRYUHy8gJScpLS0sFR4xNTAqNSYrLCkBCQoKBQUFDQUFDSkYEhgpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKSkpKf/AABEIAPAAoAMBIgACEQEDEQH/xAAcAAABBQEBAQAAAAAAAAAAAAADAgQFBgcBAAj/xABFEAACAQIEAwYDBQQIBAcBAAABAhEAAwQSITEFQVEGBxMiYXEygZEjQlKh8BRyscEzYoKSstHh8SU1U3RDVHODosLSFv/EABQBAQAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAD/xAAUEQEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA/9oADAMBAAIRAxEAPwDZLtygMaLdFAY0Hi1JNykk0hjQLL0jOa5FRXH+0VnBWTfxD5VBygD4nbkqLzOmp5UEmzfrWk+L6/lWHdoe+rE3SVwwSwg+8VV7re8govso+ZqIt97PEgdcSG97Voj/AAUH0K12kSaxDDd92MXR7WFu+ptuh+lt1H5VKYbv4JP22DBHW3eZY9YdWB9tKDXM5rjT1+m9Z/hO+rAto64i17orD6o38qsPC+22CxBizirRO8O3hGTyHiZcx9KCeVmHM/Ol5260lbZImCRyIH+VdtrNApblEDHnSVSDrRSKBOevC5SitIjWgPbNOkppapypoF3abvTi7TZqATVyaU1DIoElprHe/jisvhLI+6ly6f8A3GFtR7jw3P8AarXrg35frWvnrvZ4n43E7o5WAlge9sS3zzM9BUs/SksaSBXhQdArldJr1BwV2R/vXK8aCR4bx7EYczYvXbPOEchT7qND9Kv3Au/HE2zGLtW8QoA8ynwXHqcoysfkPesxFcVqD6g7N9uMJjwBYujOZ+yuQl0R+FSTn/sk1YMsb18hK0GR7gjQgjmDWldjO+O7ZAtY0NiLWweR41uPU/0ixyJHudqDci1Jy024Nxe1irK3cO4uI2zbe6sPuv6GDGtPPegVaFHFARqOtAS5QGFOLlAagA1IJozLQWoGHGOIrYs3Lz/DZtvcI6wCQvzMD518sYnEtcdnuHM7szMeZZiSSeus1u/fRxU2eHeGpE4m6qepS3Nx9OmYID+9WBN06UHStey1wGuzQcIrkV01yg9NerkV4UHa9kr1KBoFLXQKSDS1oNP7ieJsuLu4cklLllnjX47bIc3vkJX5CttYTWDdxiTxNvTD3T+dsfzNb0aDqLRAaGpooFAe4KbsKcXaA9AMmhss60orrQ3gAzoACSeQCiSTQYr3740ePhrQOtu27t73nAA/u2gfmKy0DrUz2v47+2Y6/fmVuXCE9La+W2PTyhfrURcNBwmkRSgldigTlrhFLBrhoEV6lBaVkoEUoVwrXQKD1LWk0pRQaP3Ef8xuf9q/+O1W6kamsL7iP+ZP/wBtc/x2YrdooPJRxQVowoDXhTZqdXqbOKBJFUzvV47+ycOvFTFy99gmn/UBzn0i2r6+oq489ayfvu44iNhrLKXZHN8g/DsEQE9CcxI6D1oMUPpqPrXgR1itC4b3tX7bycNg2tGAbYsJb+asus+8itI4H2nwHEAcuHsq4Ckh7SHRh+KIJB0ig+dS3rXRr0HzH8a+lb3ZzBn4sLhif/ST/wCoA/Kmlzs5gFMHDYZSZ3RRtvr6fzFB86EgdPrShqNvzrfRwLhjnKbOD9h4at00k0HFd3vDyTGHUQdSjsPqVaAaDBtaVJ5VseM7p8Fc/ozetE66OLiwPRgfzaq9je6hVJ8HGA9Rct5RHupb+FBnealA1MY7sjibTN9mXUT5rYLKQI1AieY3AqFI16e+lAqaUtDBpdBo3cUf+Jt/212fYtbit5JrBO45v+Kx1w935/Af9a3gnWgIpogNAU0UGgdXqAacXKAy0AWE1AdoOE4W6y/tNtb2kqpVWiM2YksQEWCupI3qwvbmqH3idihjr1q4zMFRHthSwW2txgTaubaefVp3Cgc6Cido+yeHQi7hYVBdVouBshWDCWr2drDKcw0kHTntTrselt75GHHnU5mVtDkMgHKfVpjkab9muyOPtHEXjcXDuBopdXs4ps5Lh0QkZCDoYiTOlF7D8HupxexdOGfDo6Xy1s/ChyNmUfhQtGXNz6xQXbHM9uQCdBvWW8f4zJurJDuMuYgloJUsAehyitw4hhRcn002isg7zuC+EqXgpMPlMbARKz9D+VBnT2WZyAC56xJP+dTXCO2uMwgyIxKACEuAlRE6AAgjfWnnZTtWmGNx3VmuHy2wqWiuplizOJEbDLB9auPDe2+Fu2mGIt22fzZgE+0Ajco85iB+BiRuRG4C7Jd5Yu3BbvolvNPnVvIDqdVPwidteVWnE2fMQ3uYG223XUfxqj3ex9oMlywUu2mkwcpzhRMIVj/OrSHEZmZ5yAEMROYxsR6yNdaBvj1kGCFGoAPX0H0rM+P4YW7rahtYkjciSY6fd/vVpeIw0KG10ga7+hrO+2yAXdDrHm6ciNPmwoIR8OGDMumRVJGuo8qtudSJ1PzoMcv4a162TyP66UtyCxIEAk6Dl6D0oLr3L3svF7P9a3fX5m0xH8K+hCNawLuYw+biisRPh2rrLBAgkBJ11bRthNb6GmOR6fr9a0HRvRRQ1XWjAUDu6KAacXabmgQTQriiDIkcxEz8qXcMUoiRQVNuFo7lcLg7djWXvtaVEEwPs1ibje8D32qaw+AS0piWnVmbV3OsFj8ztA9KcYnHrbyhj5nIVQBJJJA/KdTXrjbRz/3oGDIcsnmZqA7WYN7mHdbUZxDqCJBZZIBB5GYq0XWgkHYVC8Ux6k5VIzCDqY0NBhHDOyJdWLI7fDojKGQyQc6kEyNyAJ0qzcJ7vxdsi2bamASGLOrBjm3IST9wR/V9ateP4IouC/aueBddlVlEMj82zJ+KIk71LcHNw6NlOujLoPWgpy9gLuDZTh8VmVj9ohECYBzACeenI6ak1MjCsIZtWH93TnJ0qy3LKJmnc7k7iqzxvGgsqxoARPMba/lQMeJYzRj6KNuuafWZjlWW9p8TnvNvp16fr+NXzGYiCAdpUg9Y1HtsaoHGcFFwxJ1JAOp1oIwA8uoqZ4Z2bxOJ/oLFy56hSEnpnOn51J9jzZsuHvoblw+a2oIGUCSWJOijVdd4BjerTisDxHGgPnTCYRpFuPKGXWPDQEXHU6QxgEGaBHdr2SxOH4taN5MuW3eLea2w+CMoKto2o9d62xBXz72S4jiMDjhazFlktqCRKDMSs9R5SPU9K+hCx1HQkeunWgWp1o4oFunVkUB7wpuRTq7TdhQBvJIqL4jx1bKEnU9JGgG7HmANBz3qXY7zWVd5t26UNq2Za6VRFWMxLNlUAgSZZpInZBtNA4w3eVh0RsQ4Zs+KOHBAnw1CI7OoMaEP6aCpy326tG89piFZRKzojAFgXRjoykiQfShWe7rCLw63gryh1U53cHK/jEed1bpHljoIqocR7m1AVFxt2ADlLqCLa6DRVIkGY021NBd8N2owuJJW1iENxJDKpkmNJ9qzvtfxgYfiNhgZR1yXDMjUgifXpTDD91eMs3kbD4iwd4eSjcwRlKkNAE76zVu4j2BV+HXbRJvX2+1F0jKTdtqSgVR8KwSmXnM0FmwFpXCOYIAkHcaiN+utNuJYWV+wuBDJ02kx/CqH2N489yx4cgH945tAsqFmPiB1GusVPYjijBoIDakBiCI16idZHQ0BMTxC6ulwTA31Mn1gEn86r2Lv7trmOokHSFaRB15zHpTu+LpYGMoX8TlTB2YCIPzqM4o8Lm11O8/DPKeetA2e6t2Y5arpExJJj6iPU0xu8PV3AUQZC5ieuhj0EiaLYIQ6nXX5dIoDY34nOmQGP3o8v1MTQSXHuyfjXMKli4EW9buoWKaZLDqoIAEtLNv0E8qe9jcRft4uzg8UrMyvlGZpXKsZArbNbyiQfX0qZtcDW+lm+fFR7SowctktrbVSvlky7OwJMD7wnalY23cuXHvFWDui2/FYALYssoUC0o8z3jqAIGpEGgHwzh4xGLwoQSCb9y5GoVDe5n9y1Hqb9ak43HrUL2a4OLFqcuRnCiNmS2oGRCeuzH1aPu1LTQLtmnuHNM7dObWlA9u02Y05u03cUAyKpfFLI/b8PJACuzjQSSlt2+gyk/KrrVH7f4V1u4W9b3N5bJPQYibJP0O9Avifa/DYZiMRcNy8wkWLS+Iba6H7QiFTeZYzUfxTvA4cFDl7jNcURbVWLgajzQcqiGnfWK9//B4I3IxBvPcKBM1y+yg8y6gFQSZ2JMQNKqPE+6e1nYYfGXei57auCBEeZGmNWGw2oLpgwt6142CvJeVPMRoXTQgK6zKn060PDdqFQ5XYETr8QInXXMJWIP02rOW7HY7BXFuYO/4l1SNLa3EuQcxEq4COsDbM3xbUnjmPx+YX8ThcsRnZQoVuRLqhIBMmgmLmDFnH37aKptXCt1N4UkQ0QR5ZLac9KnsK6xkgyD0yidROXlPT0qo8I40c4uKJBtgEE5oYTpPLc/3qtC8RzhJRSWH4czCBMiR8Wu4oBX+Wh8o8piTrOjjmIO5qC4rZ8UQeRBMQolW059Ok1MC8CkAmBAMyDI61AcZx4+FY/OffSKCNxlwhmPWYH5LTS1xAK6s4m2GSRHLMsgn2zGhYjFakkTIA36c6VwfhjYvEWLAk+PdVCOiAy5n0UMflQa7iONWHAXDt4uYZstsF1QaEAIswT+oqw8O4OQUa/wDEgOS3qQmYzmfk79NwsaVLWrSoItKEUaAKMogbDTeK6oigUu1KyVxK6xoFolOBTZWogagkLlAenD0B6ARWm2PwIurDcmVh7oQyn6inhakZZ0mN/wDSgpPbDgz37bqsljJWGgLIK+c7qo/lWWXO7HEWtRfXwtw1tixIYxMaQPU/zrYeN9p7eF0eVdjEhQc2um+gmar2O41Yd8ue5cXwwhUG34W+l1pUP4mYQYGUkabUEbwTg1q0ik3HvEiD5iVMblRJk8o9KecTuTaORYVgUkmS0QQI5eU/PWl3rVlAGtsoVvLBaWBE6oNpgmRHrUPib2QnOSVAJEkKoAO4eZucxoOQoKRdv+DdK5YEkxt7mOlSGF4+i6rpI2B1GkadDTjjuJw5HnIY8oMMI/jVae6gabald9TBidTJ1HP12oLIOLkqM0RyOgnTnHP1qExl6STyMa9QJ8tNm4qYhtYHTem5c3DHL9bUHi0mN60Lud4UHxZukH7Cw8e90i2PbTxI9qpvD+FQQT5gJOh0Pz9K13uowcWcS8QzXlQ/u27eZfzusaC6Zp2r1JWlA0HppQNJiu0ClbWjqs02XenVg6UEgxoD0q7fA3PtGp+lNmxfMA7wSYEfnQEIpOauLcnafpp9aVQVft12NHELAVWFu6sFGOxI1AbmAfQGsI4n2VxuHuMrJ5lJEC4ORJmJk9dudfTN29BUH7xyjnrBIH5GqP3o9k3xNnxsOCbttTmUaF1Anynm4EiOfvQYw/HL6mWjQRv6QfrrTTEcbe5o5lenQ+np6U0xF9pIJkDSSDPtqJ/IUzJoHAvQd9fXWlftJOlOOD8BuYknKCoG7nYR771PWOztu1uwPWTrPWIge1BBYThxYydutWHB4KBCjeOVFuXFVSBH4lPQMKEmJTd2yqBoRIYkRpMQJ3n05zQPWdEGUCC0zGoEfHl66VsXZDhZw+CtK65XIZ3GhM3CSAY5hcgjlEVUOxXY57xXE4pPDQEG3aIKu+UzbNxdgoOsbnnWj3b/AMv5+1A3doGunvXFcdRSsTiCiFgM0ZTtJgsA3/xoeICEBtgR8QJEAidpgigWbtd8Wo9s4GZT4icio1+YgU0s8SUnXUzG+x6GgmvEinuHNQKYrWKlcFdJFA9bBk6N5R0HP58qSIzAD4V6+tPrlMkHPlQCxfEFtkAnUxAAOs9AP1rVd4Z2uNy5bs3CEvtdvobQViQllmAuFzEIYEORlMwAKHx/GL441YZbOJYpbA8Z3UItoIzqcmZRdTyjUumskVW1wd7DE4vEEHG4vDvZTD20JzXi4BdSfhIT4gqxCEzQXnF4w38Kly2ILJbvW5I0cQ6A67E6acmp9YxK3baXbZJW4quh5wRmHsROvrTfBcPNvCWrP3rdi3bJ9VQCfr/CoXshxBvt7Db2rhuIIAHhXwLgAHIK5uigh+3/AHY2ccGu2lW1ieTABUuHXy3QNifxgT1MViH7J4DvaxNtlYE7g/cJGhO4PUaV9UsoI6R1rLu+vj+F8JcPcti7iTDK0lTYU7MxGrZtxb25+lBmGG7StaWEMKeQ2ihrxNrjSBJJH6P1qCG/oTv0HsK1Xuy7M8Pxjuj3Lt+5aVX8MoLFttQCQQzO4Ega5dCNKCH7OdlcTi7mWyM3w5if6NROsvsPbf8AKtV7N922FwZW4/2+IGzuJRCd8lvYabE6+1WlLKWra27SKiLsqKEUeyjT50FyTQOGxBnUkj3P6NQXaTtbZwilrhdojyW1D3DmML5SQANDqSKkrjQIrNu2XFVw2PsXL+c22sXsiqJ+38wtFY+8My9AJB11oLz2c7WWMZbZ8M+aPjRtLqfvr003EipG5Z0hCBMyCJG2n58hWIcK40wxCYy44XFW7mHzW4yDEYR0KG4Sgm6+olo21rcntZSR7j5zE0EWnGxacWb6Gyx+F1BazcBnVSfMNtVYadTUlf4dbvAPlU9HU7fMcq8VBEGGB3DAEe0GkJwm3MqGtnqrke23L0oGbcBZSSjZus6EdNKLYxBTRpX94RPt1p2MPfX+juo4H3Lqx9LlsCP7ppV7FnL9vh7kTBNrLfUesqAwH9mgn7tMnUjSn9ym9xaCM4hw9LuXxBqmqMp8ymIJE6TB5g/woWB4QlmXWWc/+I5zXMpM5BtkQcgNN6kWtUnJQDiR71D3OErZxK4hB5nVrb6mDBLoY/tXR/aHSppmpti0lT9fmNZ/Kgje0XHreEw1zEPqLSSq/jc6W0J5SxHymvmLimKu3LjXbxzPdJuEn72afN6DoOVfQHbLgv7ZhGskkZftFj8aglZ67kfP0rB+LYTJAOhG/ofw/LrQRcTH6+taB2W4U+BTC8TDlgr5r9pdCmGuMbQfTcEhpGwOXrVBD7/OtuwnDUv8Bz2gSTgWt5VA1e0RnEDUtmQHX0oNJxOI9j7bHnI9Dv8AOgBqgO7/AIwMVw3DtMvbU2XnfNa8oPqMmQz61PoNz6RQAxF6q52w7M/tlkC2zJetN4tphp5gPhzbjNA1kQYPpVjuW5pC2jEiI6H+YoMo4VwXH4y6uGv2fCVcRcvYjENbhjmGV5PwmRmAVNJb0rZbrjMx6n/eKZ2hO4Ijly/I+/1rrXPMFCXD/WCjIJ6kmgOCCaNYub0gW4oiLFAa29OrTGKbWhTpRQPXoD0dxQWFAMmhsaIy0jLQBNBuf5/wpyy0JzrQRLWoBHUEe8nX566esCvnbt4qDGXEttmVcn98opdT7En5it37c8fXAYd8REn4bY/FcYHIPSILf2TXzUwkzr7nn6z60A8uvtWldzPHmS7fw7N5HtNdUE/DctEajoCrNPtWcRT3h2LNi6lxD5kIPuPvA+kTNB9C8BwYwuJuoixbxateCwctu/aIS/sIRXR7LAHmhHKrEw0imvZzEm7hrN0rlZ0Bg/EByPsYkehFPWWgai3Xiho7LSKBK26NGnpXFNLXXf6czQJAArwMtMQBFNrFxrrEx9khIn/qtp8P9RdfMNzPSngH50BUGo9ad03tCnFsTQPH2pvcNGZvpQ3M7/TnQCZqS1dE7gGusT0oENQWWnTqehpLppQUzvL4EcTw3EKq5mRfGTqGtHMQPdPEFfNif7V9gNaII0kTB6Hkff8A1r5k7QdhcTZxV63bw2IuW0uOLbLYuupTMShDKpB8pH0oKyKn+xvZw47GWbA+FjNxvw211uE/LT3YUAdlMZ/5PFe/7Pf/APzWz9znYx8JhmxF1GW9iNMrKVa3aVjCwdRmPmP7q0F9KhQAqhQoCqBsoAgAegpBNFuW22yn6UFrTbZW+lAg0FjThrLTsfpSHw7fhP0oEK36/XKhsni7yLfOD8Q6LGoB/FJ20ikYNWusfIwtAlRIKm4RGpB1VBrB58xUh4TDTKfpQIsplA2AGgA2AGgA6ClGlmyejfSlC23MH6UHrbU7sUDwj0P0p1ZtGKD/2Q==

Tidak ada komentar: