Satu Museum untuk Tujuh Jenderal?
Jadi sejarah sebenarnya
hanyalah permainan kata dalam menyusun sebuah cerita panjang tentang kebenaran.
Penulisan sejarah adalah arena permainan antara fakta dan fiksi.
Harus disampaikan dalam
bentuk cerita dan berhasil dimengerti karena akal manusia memiliki ruang
fiksional tempat imajinasi bermain. Tak heran, cerita sejarah sebagai sebuah
laporan tentang fakta-fakta kemerdekaan selalu hadir dengan romantis,
patriotik, bahkan sedikit mitologis.
Penting suatu peristiwa
sejarah, makin romantis dan patriotik wujud pengungkapan-nya. Sebaliknya,
bahkan roman paling picisan sekalipun harus dibangun atas setting dan
kejadian-kejadian yang logis dan faktual sehingga bisa dimengerti.
Sebagian fakta adalah
fiksi dan sebagian fiksi adalah fakta, bagaimana manusia mengingat sejarah?
Hanya sebagian kecil saja orang yang begitu berdedikasi pada tanggal seperti
para guru sejarah yang idealis dan sejarawan kutu buku. Di luar itu, manusia
sebenarnya makhluk egois atau lebih tepat selektif. Dia hanya ingin mengingat
hal-hal yang ingin dikenangnya.
Terbatas
Warga negara yang loyal,
kita tidak diperbolehkan untuk terlalu bebas memilih mana yang harus diingat
dan mana yang harus dilupakan. Masa silam sudah dituliskan oleh pihak lain yang
punya kuasa. Ikatan emosional atas suatu peristiwa sejarah adalah nostalgia
yang disuntikkan penguasa dalam ruang imajinasi kolektif rakyat, dan jauh dari
pengalaman pribadi terhadap peristiwa yang terjadi.
Mengajarkan kita untuk
memperbaiki kesalahan yang sudah ditentukan, lewat cara-cara yang sudah
ditentukan juga. Sejarah transisi Indonesia 1963-1966 bisa sebagai sebuah
laboratorium yang baik untuk melihat bagaimana situasi akhir perang dingin di
Asia Tenggara dengan kemenangan telak blok kapitalisme mengubah secara radikal
tidak hanya pemetaan geopolitis, pemasaran, demokrasi, informasi, dan arus
modal di Indonesia, tapi juga bagaimana sejarah seharusnya dituliskan.
Sistematik ingatan
kolektif Indonesia pascaperang dingin dipersiapkan agar siap menerima sistem
ekonomi liberal yang lebih menguntungkan pasar modal internasional di akhir
1966. Proses ini harus cepat, mulus, dan efektif karena waktu tidak banyak.
Pemerintah baru harus menentukan mana yang harus diingat dan mana yang harus
dilupakan.
Pada marxisme dan
sosialisme di Indonesia diarahkan pada kebencian kolektif terhadap fakta 30
September. PKI= Binatang dan atribut-atribut senada di media massa jadi senjata
retorika efektif dalam menggairahkan pembunuhan mendekati sejuta manusia dengan
suka ria hanya beberapa bulan setelah PKI dilarang.
tahun kemudian
?komunisme adalah bahaya laten, sebuah jargon yang lebih intelektual, mengunci
imajinasi kita dengan fiksi-fiksi heroik yang sangat faktual dan fakta-fakta
yang berbaur dengan fiksi. Tapi itulah wajah kebudayaan kekerasan kita, di mana
pembunuhan massal hanyalah statistik dalam laci gelap, sementara pembunuhan
tujuh jenderal menjadi drama horror, urban legend untuk generasi tua-muda.
kini kita memetik buah
ranum kapitalisme. Tahun 1960-an kita tak punya apa-apa kecuali harga diri.
Tahun ini, kita nyaris punya semuanya kecuali harga diri karena harus mengimpor
semua kebutuhan, mulai dari peniti sampai handphone, sementara ekspornya TKI
serta garmen dan sepatu hasil keringat buruh upahan rendah yang dikendalikan
dan dimiliki perusahaan asing.
ekonomi marxisme dibunuh
30 tahun lalu, tanpa ruang untuk mengkaji segi positifnya dari segi pemikiran
ekonomi-politik untuk kepentingan negara Dunia Ketiga yang gampang
digonjang-ganjing lewat pasar bursa. Maka, kita, generasi muda urban sekarang
merasa bahwa ketidakadilan ekonomi adalah risiko biasa dalam kapitalisme yang
merupakan kehendak Tuhan.
, hati kecil punya
kecerdasan sendiri. Dia bisa terlihat mati, tapi¨sebagaimana hati
kecil sukar dibunuh dan punya kemampuan bertahan sepanjang akal sehat ada. Ada
dosa tak terjelaskan dalam ingatan kultural kita hari ini.
menjelaskan secara
telanjang bahwa perlu ada sejuta orang awam (barangkali lebih) sengaja dibunuh
tanpa pengadilan hanya karena punya hubungan dengan sebuah partai kiri yang
dituduh makar dan gagal? Apakah marxisme dilarang karena dia tidak
henti-hentinya menawarkan suatu kesadaran kritis akan ketidakadilan yang akan
jadi penghambat globalisasi ekonomi? Apakah semuanya sudah direncana-kan? Akal
sehat memang selalu bertanya.
sejarah tutur
dari kita memahami
fakta-fakta historis karena memiliki ikatan personal terhadap
peristiwa-peristiwa yang sangat khusus. Testimonial dari sisa-sisa yang masih
bernapas dan mengingat sebetulnya menjadi bahan yang penting dan menunggu untuk
disuarakan sebagai data utama bagi sejarah.
dalam perspektif oral
tentunya lebih kaya nuansa, sebab para penuturnya hadir secara aktif
menceritakan pengalaman pribadi sebagai makhluk kultural yang memiliki
perasaan, kemarahan, humor, ketakutan dan kemampuan otokritik. Testimonial adalah penceritaan identitas diri dalam konteks historis yang
aktual.
sejarah seharusnya memanusiakan rakyat, bukan memonumenkannya secara
narsis. Bangsa menjadi dewasa bukan karena bertempur dan menyembelih manusia
tapi karena mengambil risiko untuk memaafkan (termasuk mengaku kesalahan) dan
belajar mendengarkan rakyatnya. Strategi kultural yang serius lewat museum dan
perekaman, khususnya sisi gelap Orde Baru, sudah saatnya dilakukan. Museum yang
berhasil bukan saja membuat pengunjung mencocok-cocokkan pengetahuan
kulturalnya dengan artefak budaya, tapi juga menawarkan pilihan konseptual yang
kritis, sehingga pengunjung mendapatkan sesuatu yang baru.
konteks peristiwa pembantaian massal, tawaran kritis itu adalah upaya
membangun-kan ingatan rakyat dari amnesia sejarah yang ketinggalan zaman.
Namun, jika tujuh jenderal yang dibunuh membutuhkan satu museum, berapa museum
untuk menampung a£á?suaraa£á? ratusan ribu, bahkan juta nyawa tumbal
pembangunan?
Iwan Meulia Pirous, Staf Pengajar FISIP-UI
********************************
Sebuah tulisan yang bagus. Dari "tujuh jenderal" yang disebutkan
dalam judul, sebetulnya enam yang tewas, yang satu "sakit permanen".
Sumber: http://www.parasindonesia.com/read.php?gid=103
September, 30 2005 @:04 am
Coup '65: 30 September
Oleh Coen Husain Pontoh
Samudera perpolitikan Indonesia, makin hari makin bergelombang. Tapi sesungguhnya,
gelombang itu lebih terasa di kalangan elite. Maklum, mayoritas rakyat
Indonesia, yang baru merdeka 20 tahun lamanya itu, masih buta huruf, masih
mengandalkan radio sebagai alat komunikasi. Padahal alat komunikasi utama ini
jangkauannya sangat terbatas.
Kisruh politik makin memanas.
Lebih-lebih dengan kondisi sang pemimpin besar revolusi, paduka yang mulia,
panglima tertinggi angkatan bersenjata,yang telah jatuh sakit. Semua kekuatan
politik siap berhadap-hadapan, menunggu saat tepat untuk bergerak.
Saat itu sudah lama diperkirakan olehnya. Pasti akan terjadi, cepat atau
lambat. Informasi yang berkaitan dengan kondisi politik ini sudah ada di
tangannya melalui pembicaraan-pembicaraan rahasia. Dia sudah lama gemas,
namun menunggu momen memang membutuhkan kesabaran. Sebagaimana kesabaran
prajurit yang akan membidik sasaran. Dan bidikan itu sudah lama ia tengarai.
Pembicaraan-pembicaraan itu menjadi bekal.
“Ini saatnya bagi tuan
untuk bergerak. Jika tuan terlambat, maka negeri ini akan jatuh ke tangan
komunis.”
“Jangan sampai komunisme
berkuasa. Katakan, tindakan apa yang harus saya lakukan? Sebagai prajurit saya
patuh pada atasan, dan hingga kini tak ada perintah dari komandan untuk
bertindak.”
“Tuanlah yang harus
bertindak. Bukan komandan tuan. Mereka selalu akan menunggu perintah panglima
tertinggi. Dan ingat, dia sedang sakit parah. Tuan tidak lihat bahwa komunisme
semakin gencar merengkuh semua kekuatan politik untuk berada di bawah
pengaruhnya?”
“Saya tahu itu. Tapi
saya juga tahu tidak ada yang salah dengan itu, karena mereka menjalankan
bagian daripada strategi dan taktik politik.”
“Tuan terlalu naif.
Politik itu berwajah seribu, hari ini menjadi kawan besok sudah dijadikan
lawan.”
“Saya prajurit, bukan
politisi. Tugas saya adalah mengamankan negeri ini daripada ancaman, gangguan,
dan hambatan yang terjadi.”
“Di situlah maksud saya.
Tuan tahu, komunisme adalah ancaman yang nyata bagi negeri tuan. Mereka ingin
menjadikan Indonesia sebagai bagian dari gerakan komunis internasional yang
dipimpin oleh Beijing. Jika itu terjadi, maka tuan tidak punya keleluasaan
dalam membangun negeri tuan, karena semuanya nanti akan tergantung pada arahan
dan persetujuan Beijing.”
“Saya mengerti.”
Dia terdiam sejenak. Memahami benar bagaimana Partai Komunis Indonesia
adalah ancaman nyata baginya. Namun, dia juga paham, bahwa PKI berjalan di
koridor yang telah ditentukan. Mereka ikut pemilu, mengakui Pancasila sebagai dasar
negara, dan tidak menentang Angkatan Darat secara langsung.
Dia menatap lawan
bicaranya yang masih duduk sambil menghisap sebatang rokoknya. Terbersit di
benaknya, sebuah kalimat pancingan yang bernada lugu namun diarahkan untuk
membuatnya tahu apa isi benak lawan bicaranya.
“Saya mengerti, namun,
soal politik, itu bukan urusan saya.”
“Ah lagi-lagi tuan
terlalu naif. Tuan tentunya tahu bahwa dalam komunisme, militer harus tunduk
pada arahan dan perintah partai.”
“Jangan sampai itu terjadi. AD bukan alat kekuatan apapun, AD bukan pemadam
kebakaran. Bahkan AD, seperti kata Panglima Besar Jend. Soedirman, adalah
satu-satunya kekuatan yang tetap utuh dan solid. AD adalah tentara rakyat, ia
berjuang bersama rakyat merebut dan mempertahankan kemerdekaan republik. Karena
itu, AD harus terlibat dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan negara.”
“Itulah yang saya maksud mengapa komunisme dan PKI merupakan ancaman
nyata.”
“Tapi apa yang harus saya lakukan? PKI adalah sebuah partai politik yang
sah, yang berjuang dengan cara-cara legal. Mereka tidak menabrak konstitusi
kami.”
“Tuan, itu hanya salah
satu aspek dari strategi politik PKI. Mereka mengenal perjuangan legal dan
ilegal, mekanisme atas-bawah. Yang di atas tidak mencermin-kan realitas yang
sesungguhnya. Tuan tahu bahwa mereka juga menggarap prajurit-prajurit Angkatan
Bersenjata?”
“Saya lebih tahu
daripada mereka. Saya tahu mereka menyusup ke tubuh angkatan bersenjata. Saya
tahu betul agen-agen mereka. Berikan kepada saya, apa alasan legal saya untuk
menindak PKI ? Mereka tidak melakukan pemberontakan, mereka tidak menentang
angkatan bersenjata secara terbuka. Mereka berbeda dengan Masyumi atau PSI yang
terkait dengan PRRI dan Permesta.”
Si lawan bicara
tersenyum.
“Tuan, politik itu
berwajah seribu. Tuan bisa membuat seribu satu alasan untuk menghantam
komunisme, untuk kemudian berkuasa di negeri ini.”
“Yang saya butuhkan alasan legalnya, saya ingin kelak ketika berkuasa hal
itu dicapai dengan cara-cara legal. Soal bagaimana melakukan, Anda tak perlu
mengajari saya.”
“Tuan, alasan bisa dicari dan dibentuk. Yang paling penting adalah
tindakan. Dalam politik, mereka yang berhasil memanfaatkan momentum adalah yang
memenangkan pertarungan. Politik bukanlah matematika. Politik adalah seni. Seni
berkuasa. Kadang tuan harus tampil gagah, kadang lemah, kadang lembut, kadang
abstrak, tapi juga harus berani bersikap tegas dan keras. Jangan seperti Nasution,
yang gagah tapi tidak berani bersikap tegas. Atau Yani, yang hanya cukup puas mengabdi pada pemimpin besar revolusi.”
“Lalu apa momentum itu?”
“Tuan, inilah saatnya momentum yang terbaik. Panglima besar sedang jatuh
sakit, semua kekuatan politik saling bersiaga, menunggu siapa yang mulai
bertindak. Tapi mereka hanya menunggu, mereka tak berani mulai bertindak.
Itulah kesalahan utama mereka.”
“Saya mengerti, tapi tindakan apa yang harus diambil? Saya kira semua elite
itu berpikiran seperti saya, ‘tindakan apa yang harus diambil yang
menguntungkan kedudukannya?”
Si lawan bicara
mengerti, mata kail telah bergoyang.
“Tuan, untuk memenangkan
pertempuran saat ini, tuan harus menyerang kekuatan yang paling kuat. Kekuatan
yang paling kuat itu adalah Soekarno, panglima besar revolusi, pemimpin
tertinggi angkatan bersenjata.”
“Itu saya mengerti, tapi
sekali lagi apa alasan legalnya?”
“Tuan bertindaklah,
jangan dulu memikirkan alasan legalnya. Kalau tuan sudah berkuasa, tuan bisa
membuat sendiri alasan legal itu. Hukum itu produk politik, orang sejak awal
berkuasa dulu baru membuat aturan, karena dengan demikian barulah aturan itu
bisa ditegakkan. Bukan sebaliknya.”
“Tapi, kalau itu saya
lakukan, pasti akan ada pertumpahan darah yang luar biasa, akan ada perang
saudara. Saya tidak mau sebagai prajurit, dituduh mengobarkan perang saudara.”
“Tuan, untuk kepentingan
umum, terkadang kita harus mengorbankan kepentingan orang per orang atau
golongan per golongan. Untuk kepentingan jangka panjang, tidaklah soal jika kepentingan
jangka pendek dibatalkan.”
“Itulah yang saya
pikirkan, kepentingan jangka panjang itu. Saya tak ingin disebut sebagai
pemimpin yang berlumuran darah, saya tak ingin dunia internasional takut
berhadapan dengan saya karena kekejaman yang terjadi.”
“Tuan, masa depan
ditentukan oleh tindakan tuan hari ini. Masa depan ada dalam buku-buku sejarah,
dan sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Soal dunia internasional, tuan
dunia tidak seterbuka yan tuan kira, juga tidak sesantun yang tuan sangka.
Dunia luar penuh warna, dan warna itu tergantung pada kepentingan mereka. Apalagi saat ini, setiap negara sibuk dengan urusannya masing-masing.”
“Tapi pasti mereka akan tahu, dan saya tidak ingin terasing dari pergaulan
interna-sional.”
“Tuan jangan khawatir soal itu. Kami adalah kawan dan sahabat tuan, jika
tuan berkuasa kelak. Kami justru lebih takut dengan pemerintahan yang ada saat
ini, karena mereka membiarkan komunisme bersimaharajalela.”
Sang prajurit menghela
nafas panjang-panjang.
Malam kian larut, dan dingin
semakin menusuk tulang.
SEKILAS TENTANG PERINGATAN TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN 65
Kegiatan untuk
memperingati 40 Tahun Peristiwa Tragedi Kemanusiaan 65 yang pada pokoknya
dimulai sekitar tanggal 29 September 2005 sampai sekarang masih terasa ada
gemanya. Di antara acara-acara yang menarik perhatian cukup banyak orang yalah
yang diselenggarakan dalam rangka Pekan Seni Budaya “Menguak Tabir Merajut Masa
Depan” oleh kerjasama berbagai organisasi antara tanggal 28 September dan 5
Oktober 2005 di Jakarta dan Depok.
Meskipun kegiatan
peringatan 40 tahun peristiwa 65 ini kemudian agak “terganggu” oleh adanya
peristiwa-peristiwa besar lainnya yang menggiring perhatian banyak orang, yaitu
peristiwa peledakan bom oleh teroris di Bali dan geger besar-besaran karena
kenaikan harga BBM sejak tanggal 1 Oktober, boleh dikatakan kegiatan peringatan
ini tetap merupakan peristiwa yang penting.
Dan walaupun koran-koran
nasional tidak banyak menyiarkan berita tentang kegiatan-kegiatan ini, tetapi
dalam berbagai milis di Internet cukup banyak tulisan atau berita dari berbagai
kalangan merupakan partispasi dalam peringatan ini. Sepanjang pengamatan dari
jauh (dan karenanya bisa lengkap atau tidak cermat) kegiatan untuk memperingati
peristiwa 40 tahun ini tidak mendapat rintangan yang besar atau serangan yang
serius dari fihak pendukung atau simpatisan Orde Baru.
Dalam rangka peringatan
ini juga telah dilaksanakan bedah Buku Antologi Tragedi Kemanusiaan 65 di
Jakarta, dengan mendapat perhatian banyak sekali orang dari berbagai kalangan.
Buku Antologi yang terdiri dari 350 halaman ini berisi cerpen, curahan hati,
esai, dan puisi hasil karya 37 penulis. Dalam acara bedah buku yang dihadiri
juga oleh Gus Dur ini, telah diserahkan kepadanya satu jilid buku antologi ini
oleh Ilham Aidit, sebagai simbol yang mempunyai makna penting.
Berbagai kegiatan di
luar Indonesia
Dalam rangka
memperingati 40 tahun peristiwa 65 ini berbagai Indonesia di luarnegeri juga
mengadakan kegiatan-kegiatan. Pada tanggal 15 Oktober 2005 ini Panitia
Peringatan Tragedi Nasional 1965 di negeri Belanda akan mengadakan pertemuan
besar di Diemen. Pertemuan besar ini akan dihadir oleh peserta-peserta orang
Indonesia dari negeri Belanda, Perancis, Swedia dan negeri-negeri lain.
Sedangkan pada tanggal 16 Oktober kegiatan yang serupa untuk memperingati
peristiwa 65 juga akan diadakan di Aachen (Jerman).
Perhatian terhadap
peringatan 40 Tahun Peristiwa ini juga tercermin dalam sebagian pers di
berbagai negeri. Antara lain: mingguan l’Humanité Hebdo (penerbitan Partai
Komunis Perancis) telah menyajikan tulisan panjang yang memenuhi satu halaman
penuh, mengenai peristiwa G30S dan pembunuhan besar-besaran terhadap golongan kiri
di Indonesia. Demikian juga mingguan ROUGE kepunyaan Liga Komunis Revolusioner
(aliran Internasionale ke-4) juga menyiarkan tulisan satu halaman penuh tentang
peran CIA dan TNI-AD dalam peristiwa besar yang bersejarah ini. Di negeri
Belanda, radio CPRO menyiarkan secara berturut-turut 3 macam siaran, sedangkan
penerbitan NCPN (Partai Komunis Belanda Baru) juga membuat tulisan mengenai
peristiwa 65.
Sejumlah penerbitan di
Jerman ( Neues Deutschland, Junge Welt, Taz) juga tidak ketinggalan dalam para
pembacanya tentang peristiwa 65 dan rejim militer Suharto yang telah membuat
penderitaan begitu banyak orang di Indonesia.
Dalam arti tertentu,
peringatan 40 tahun peristiwa 65 ini berhasil dalam menggugah kembali banyak
orang kepada masa gelap Orde Baru yang dibangun oleh rezim militer Suharto.
Karena, dalam rangka peringatan ini telah bermunculan sekali tulisan berupa
berbagai macam essai, sajak, curahan hati, analisa dan, yang mengambil masalah
peristiwa 65 sebagai tema Penting sekali dicatat bahwa kegiatan-kegiatan ini
diselenggarakan oleh kerjasama berbagai organisasi dengan partisipasi kalangan
luas dalam masyarakat. Satu aspek yang juga menggembirakan yalah ikut sertanya
secara aktif generasi muda bangsa dalam berbagai kegiatan ini.
Catatan A. Umar Said
Paris, 26 September 2003
SOAL G30S, BUNG KARNO DAN SUHARTO
Sebentar lagi akan datang 30 September. Bagi banyak orang, di masa yang
lalu, tanggal ini dan hari-hari berikutnya, merupakan hari yang mengandung
kenang-kenangan yang penuh kepedihan dan kegetiran. Bahkan, bagi sebagian
bangsa kita, penderitaan yang diakibatkan buntut peristiwa G30S masih dirasakan
sampai sekarang, lebih dari 37 tahun kemudian. Kekuasaan rezim militer Orde
Baru di bawah pimpinan Suharto dkk, telah membikin peristiwa 30 September 1965
sebagai dasar serentetan pengkhianatan terhadap Bung Karno dan Republik
Indonesia, dan sebagai sumber berbagai pelanggaran HAM secara besar-besaran
yang dilakukan selama puluhan tahun.
Selama ini, sudah banyak yang ditulis atau dibicarakan tentang G30S serta
buntutnya yang panjang. Tetapi selama jangka waktu yang lama ini, sebagian
terbesar tulisan mengenai peristiwa ini, serta berbagai akibatnya, hanya
menyajikan versi sefihak yang banyak diputarbalikkan atau dipalsu oleh para
pendukung rezim militer. Oleh karena itu, perlu terus didorong lahirnya
berbagai macam tulisan - atau kegiatan lainnya - tentang G30S serta akibatnya,
yang memungkinkan kita bersama untuk meninjaunya dari banyak sudut pandang.
Sebab, sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa G30S sebenarnya mengandung
persoalan-persoalan yang rumit dan punya latar-belakang politik dan sejarah
yang panjang dan berliku-liku. Jadi, masalah G30S bukanlah masalah yang
sederhana. Dan, karenanya, makin banyak kalangan mempersoalkan berbagai aspek
G30S adalah makin baik bagi bangsa dan generasi yang akan datang.
FAKTOR DALAM NEGERI DAN
LUAR NEGERI
Peristiwa G30S, seperti
banyak persoalan besar lainnya, dipengaruhi berbagai faktor sejarah, dan faktor
dalamnegeri dan luarnegeri. Di antara faktor-faktor itu terdapat faktor Bung
Karno; yang merupakan lambang terpusat perjuangan nasional untuk kemerdekaan
melawan kolonialisme dan imperialisme (ingat pidato Bung Karno „Indonesia
menggugat“ dan kumpulan pidato-pidato beliau dalam „Di bawah Bendera Revolusi¨.
Ada juga faktor-faktor PKI, sebagian golongan Islam dan Angkatan Darat. Di
samping itu, ada faktor perang dingin, sebagai perkembangan internasional
penting sesudah Perang Dunia ke-II. Saling keterkaitan berbagai faktor
dalamnegeri dan faktor luarnegeri ini tercermin di Indonesia dalam
peristiwa-peristiwa penting, antara lain (sekadar menyebutkan sejumlah kecil
contoh-contohnya) : revolusi 45, Konferensi Bandung 1955, pembrontakan
PRRI-Permesta, politik konfrontasi Malaisia, Trikora, perang Vietnam, masalah
Taiwan, hubungan Indonesia-RRT
Di antara faktor-faktor
dalamnegeri adalah naiknya prestise PKI sesudah pemilu tahun 1955. Kenaikan
prestise PKI ini membikin tidak senangnya sebagian dari TNI-AD, dan juga
sebagian negeri-negeri Barat. Sejumlah perwira-perwira TNI-AD, dengan mendapat
sokongan Amerika Serikat (CIA) melakukan pembrontakan terhadap pemerintahan
pusat di tahun 1958, dengan mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) yang disokong oleh partai politik Masjumi dan PSI. (Ingat juga peristiwa penerbang AS Allan Pope yang ditembak jatuh di Ambon
tahun 1958).
Bung Karno, yang waktu itu merupakan tokoh internasional dalam melawan
imperialisme dan kolonialisme (ingat, antara lain: gerakan Non-blok, Ganefo,
Konferensi Wartawan Asia-Afrika, Konferensi Internasional Anti Pangkalan
Militer Asing) mendapat dukungan yang besar dari PKI. Berbagai politik Bung
Karno jelas-jelas tidak menguntungkan kepentingan sejumlah negeri-negeri Barat.
Politik negeri-negeri Barat tertentu ini punya pengikut juga di Indonesia,
termasuk di kalangan Angkatan Darat dan sebagian golongan Islam.
MENGHANCURKAN PKI UNTUK
MENGGULINGKAN BUNG KARNO
Dalam jangka waktu lama
sekali (lebih dari 32 tahun), para pendiri rezim militer Orde Baru menyajikan
kepada opini umum bahwa persoalan G30S adalah terutama berkaitan dengan PKI.
Bahkan, nama resmi yang diberikan kepada peristiwa ini adalah GESTAPU/PKI.
Tetapi, dalam berbagai kesempatan, pimpinan Angkatan Darat dan para pendukung
Orde Baru lainnya menuduh bahwa dalam peristiwa ini Bung Karno „terlibat“, atau
tidak mau bertindak tegas, atau bahkan bersimpati kepada PKI. Selalu
dikemukakan oleh mereka bahwa PKI adalah dalang G30S atau penggeraknya. Bahwa
sejumlah pimpinan PKI terlibat dalam rencana sejumlah perwira-perwira militer
untuk mencetuskan G30S ini telah diakui sendiri oleh para pemimpin PKI. Tetapi,
tidaklah bisa dikatakan bahwa PKI sebagai partai secara keseluruhan ikut
terlibat dalam G30S.
Sampai sekarang, banyak
sekali hal yang bersangkutan dengan G30S yang masih tetap menjadi misteri atau
masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas. Misalnya : sampai
di manakah kebenaran berita bahwa Dewan Jenderal mau mengadakan kudeta?
Siapakah sebenarnya Syam Kamaruzaman itu? Apakah Suharto sudah mengetahui
rencana G30S? Sampai di manakah CIA tersangkut dalam peristiwa ini? Apa sajakah
peran Bung Karno dalam menghadapi G30S dan sesudahnya?
ARTI TERGULINGNYA BUNG
KARNO DAN HANCURNYA PKI
Sedikit demi sedikit,
dan berangsur-angsur, sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan itu sudah mulai
ada jawabannya. Meskipun masih banyak soal G30S yang belum jelas benar duduk
perkaranya, tetapi satu hal sudah pasti, yaitu bahwa rezim militer Suharto dkk
menjadikan masalah ini sebagai kesempatan untuk menghancurkan PKI dan melalui
kehancuran PKI ini untuk kemudian menggulingkan Bung Karno. Dan hal yang sudah
pasti lainnya, yalah bahwa hancurnya kekuatan PKI dan jatuhnya Bung Karno
adalah merupakan „kemenangan¨ kubu imperialis, yang diketuai oleh AS.
Jadi, sekarang makin
jelas bagi banyak orang bahwa dalam meninjau masalah G30S kita harus juga
berusaha memperhitungkan faktor Bung Karno. Sebab, akhirnya, nasib Bung Karno
terkait erat juga dengan peristiwa G30S ini. Para pendukung rezim militer
Suharto memberi julukan „Gestapu Agung“ kepada Bung Karno, dan kemudian
digulingkan dari kedudukan beliau sebagai presiden. Beliau telah dikenakan
tahanan rumah secara ketat, sesudah dijadikan sasaran demontrasi yang
terus-menerus digerakkan oleh pimpinan Angkatan Darat. Bung Karno, panglima
tertinggi ABRI, meninggal dalam tahanan Angkatan Darat sesudah mengalami
berbagai siksaan batin dan jasmani.
Rezim militer Suharto
dkk yang didukung oleh Angkatan Darat dan Golkar sebagai tulang-punggung telah
bertindak secara amat kejam dalam menumpas kekuatan PKI. Dengan tujuan utama
menyingkirkan Bung Karno dari tampuk pimpinan negara dan bangsa, maka Suharto
dkk menghancurkan lebih dahulu kekuatan PKI. Sebab, jelas bahwa sejak akhir
tahun 50-an dan permulaan tahun 60-an PKI merupakan kekuatan pendukung politik
Bung Karno yang paling gigih (ingat, antara lain : Manipol, Nasakom, Resopim,
Trikora, Dwikora, Indonesia keluar dari PBB). Dan berbagai politik Bung Karno
ini pada umumnya, atau pada pokoknya, adalah anti-imperialisme dan
anti-kolonialisme. Karena itulah Bung Karno punya cukup banyak musuh, baik di
luarnegeri maupun di dalamnegeri.
POLITIK BUNG KARNO
ADALAH KIRI
Memang, sikap politik
Bung Karno adalah pada pokoknya „kiri“. Politik „kiri“ yang dianutnya sejak
tahun-tahun mahasiswa inilah yang membikin beliau seorang pejuang nasionalis
yang besar. Kebesaran Bung Karno adalah berkat sikap politik beliau yang
„kiri“, yang anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, yang pro-rakyat. Sikap
inilah yang dipertahankannya sampai terjadinya G30S. Dalam rangka ini perlu
dicatat diselenggarakannya Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer
Asing KIAPMA, permulaan Oktober 1965, di Hotel Indonesia Jakarta, yang dibuka
oleh Bung Karno. Konferensi internasional ini penyelenggaranya adalah Indonesia
dan sasaran utamanya adalah Amerika Serikat.
Jadi, dalam meninjau
masalah G30S, di samping menyorotinya dari segi pertentangan antara segolongan
Angkatan Darat dan PKI waktu itu, kita perlu sekali memperhitungkan di dalamnya
juga faktor Bung Karno dan faktor internasional (baca: perang dingin), yang
merupakan latar-belakang yang juga cukup penting. Berbagai aspek G30S punyai
kaitan yang erat dengan perang dingin. Karena itu, hancurnya kekuatan PKI dan
digulingkannya Bung Karno oleh Suharto dkk adalah peristiwa penting yang
menggembirakan bagi negara-negara Barat
Dari segi inilah kita
dapat melihat mengapa dalam jangka lama rezim militer Suharto mendapat simpati,
atau dukungan, atau bantuan dalam berbagai bentuk dan cara dari negara-negara
Barat (terutama AS). Hancurnya kekuatan yang mendukung politik Bung Karno
menyebabkan kemunduran besar dalam gelora perjuangan rakyat berbagai negeri
melawan imperialisme dan kolonialisme. Itulah sebabnya, selama masa Orde Baru
jiwa Konferensi Bandung menjadi loyo atau apinya jadi padam. Rezim militer
Suharto dkk membikin akibat G30S sebagai sarana untuk menghapus-kan arti
penting dan bersejarah Konferensi Bandung. Ini wajar. Sebab semangat Konferensi
Bandung adalah justru bertentangan sama sekali dengan tujuan politik rezim
militer ini. Semangat konferensi Bandung banyak dijiwai oleh semangat „kiri“
Bung Karno.
SUHARTO BUKANLAH
PAHLAWAN BANGSA
Dalam mengenang kembali
berbagai peristiwa yang berkaitan dengan G30S tahun 1965, sudah tentu saja kita
harus menggugat pembunuhan besar-besaran - dan segala macam siksaan yang tidak
berperi-kemanusiaan terhadap jutaan manusia tidak bersalah oleh militer dan
para pendukung Suharto dkk . Menggugat masalah ini adalah kegiatan penting
untuk mengingatkan bangsa kita supaya kebiadaban besar-besaran yang pernah
terjadi di kalangan bangsa kita itu tidak terjadi lagi di kemudian hari. Bukan
itu saja. Menggugat berbagai kejahatan Suharto sekitar peristiwa G30S ini juga
perlu untuk meyakinkan banyak orang bahwa Suharto dkk bukannya „pahlawan
bangsa¨ yang patut disanjung-sanjung seperti selama puluhan tahun itu.
Sekarang makin banyak
bukti yang nyata bagi banyak orang bahwa Suharto bukanlah „bapak pembangunan“,
bukan pula Pancasilais sejati. Banyaknya cerita yang berbau busuk sekitar
keluarganya (ingat: kasus Ibu Tien, Sigit, Tutut, Bambang, Tommy, Ari,
Probosutedjo dll) meyakinkan banyak orang bahwa Suharto adalah seorang kepala
keluarga yang tidak pantas dijadikan contoh bangsa. Selama lebih 32 tahun
Suharto, yang mengkhianati Bung Karno ini, telah disanjung-sanjung oleh para
pendukung Orde Baru.
Sudah terlalu lama G30S
telah dijadikan dalih atau alasan oleh Suharto dkk untuk menyebar racun
perpecahan, dengan indoktrinasi yang menyesatkan tentang Bung Karno dan
pendukung utamanya (PKI). Indoktrinasi ini, yang dijalankan secara
besar-besaran dan dalam jangka yang lama sekali, menimbulkan kerusakan mental
yang besar sekali. Indoktrinasi lewat buku-buku di sekolah, lewat film dan
televisi, lewat ceramah atau seminar dan bermacam-macam kursus, telah membikin
„buta“ banyak orang. Sampai sekarang, dalam masyarakat kita, masih banyak orang
yang terpengaruh oleh indoktrinasi Orde Baru tentang Bung Karno dan PKI ini.
Mereka ini terdapat di berbagai partai politik, badan pemerintahan, DPR/DPRD,
ornop, kalangan agama (termasuk kalangan Islam)
GUNAKAN 3O SEPTEMBER UNTUK MENGGUGAT ORBA
Sekarang ini terbukalah kesempatan untuk menyajikan kepada bangsa Indonesia
hal-hal yang selama ini ditutup-tutupi atau dipalsu oleh Orde Baru mengenai
G30S. Kita semua harus berusaha membongkar, sejauh mungkin, latar-belakang
peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia ini. Antara lain, kita harus
membikin 30 September jadi hari menggugat berbagai kejahatan rezim militer
Suharto dkk. Menggugat berbagai kejahatan rezim militer Suharto dkk ini adalah
kewajiban kita semua. Ini perlu kita lakukan, demi pelurusan sejarah, demi
rekonsiliasi nasional, demi persatuan bangsa, dan demi pendidikan generasi yang
akan datang. Generasi muda kita, dan generasi yang akan datang, tidak boleh
diracuni oleh segala pembusukan yang telah terjadi selama Orde Baru
Dalam rangka ini pulalah tulisan kali ini menyambut adanya
kegiatan-kegiatan di berbagai tempat di Indonesia untuk menjadikan tanggal 30
September sebagai hari untuk membongkar berbagai kejahatan Orde Baru terhadap
peri-kemanusiaan. Di antara kegiatan-kegiatan itu terdapat pertemuan
“Mengungkap Tabir '65” di Jakarta (tanggal 29-30 September) yang
diselenggarakan oleh Lakpesdam NU, Yappika, Elsam, SNB, PEC, Pakorba,
LPRKROB, LPKP, JKB dll.
Tabir 65 ? memang harus
dibuka. Dan, seluas-luasnya.
Paris, 26 September 2003
http://kontak.club.fr/Pulihkan_nama_baik_Bung_Karno_dan_cabut_TAP_MPRS_033-1967.htm
PULIHKAN NAMA BUNG KARNO!
DAN CABUT TAP MPRS 33/1967!
( Oleh :A. Umar Said )
Renungan dan catatan
tentang BUNG KARNO (12)
Di antara berbagai kegiatan
dalam rangka peringatan HUT ke-100 Bung Karno yang akan datang ini ada satu
satu hal penting yang patut mendapat perhatian seluruh kekuatan pro-reformasi
dan pro-demokrasi, yaitu: menjadikan kesempatan yang bersejarah ini untuk mulai
dilancarkannya gerakan besar-besaran untuk menuntut dicabutnya Ketetapan MPRS
nomor 33/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden
Sukarno. Sebab, dewasa ini, dalam perjuangan nasional untuk me-reformasi segala
produk atau akibat buruk politik Orde Baru, masalah dicabutnya TAP MPRS 33/1967
tentang Presiden Sukarno adalah termasuk agenda yang sangat penting.
Tuntutan dicabutnya TAP
MPRS 33/1967 ini sudah juga diajukan oleh Keluarga Besar Bung Karno, melalui
Rachmawati Soekarnoputri. Menurut berita pers, ketua Yayasan Pendidikan
Soekarno (YPS), (Rachmawati) tanggal 6 Mei 2001 telah bertemu dengan Presiden
Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka selama 2 jam. Dalam pertemuan tersebut,
Rachmawati menyampaikan surat permohonan pencabutan TAP MPRS 33/1967 itu dalam
rangka memperingati seratus tahun Bung Karno, yang jatuh pada tanggal 6 Juni
2001 (Kompas 8 Mei 2001)
Kalau dipandang dari
berbagai segi, tuntutan Rachmawati kepada Presiden Abdurrahman Wahid supaya TAP
MPRS 33/1967 dicabut adalah persoalan besar. Sebab, masalah ini berkaitan
dengan pentingnya mengkoreksi salah satu dari begitu banyaknya
kesalahan-kesalahan Orde Baru, yang dampak buruknya masih terasa sampai
sekarang. Artinya, masalah Bung Karno adalah juga MASALAH KINI, atau,
setidak-tidaknya, mempunyai hubungan erat sekali dengan masa sekarang.
Oleh karena itu,
walaupun kasus TAP MPRS 33/1967 sudah terjadi lebih dari 30 tahun yang lalu,
adalah penting sekali bagi para pakar sejarah, pakar hukum, pakar ilmu sosial
(dan para pakar di bidang-bidang lainnya), untuk bersama-sama dengan berbagai
kalangan masyarakat (universitas, LSM, pesantren, ornop lainnya dll) mengangkat
masalah ini, untuk dipelajari kembali atau untuk dipersoalkan kembali. Dengan
mengangkat kembali masalah ini tinggi-tinggi di depan opini publik, maka
gerakan atau tekanan dapat digalang bersama-sama, sehingga akhirnya TAP MPRS
33/1967 dapat dicabut.
APAKAH TAP MPRS 33/1967
ITU ?
Sidang Istmewa MPRS
Tahun 1967 telah diselenggarakan oleh para pendiri Orde Baru di Jakarta antara
7 sampai 12 Maret (1967). Perlu diingat bersama-sama terlebih dulu, bahwa
walaupun „resminya“ Bung Karno waktu itu masih menjabat sebagai Presiden
Republik Indonesia, tetapi sebenarnya kekuasaannya sudah diperlemah oleh
Suharto dkk sejak Oktober 1965, setelah terjadinya G30S (atau Gestok, menurut
Bung Karno). Kekuasaan Bung Karno kemudian dipreteli secara lebih besar-besaran
oleh Suharto dkk dengan dikeluarkannya - secara paksa atau dengan intimidasi -
Surat Perintah Sebelas Maret dalam tahun 1966, yang kontroversial itu.
Dengan Super Semar
inilah Suharto dkk telah membubarkan PKI (tanggal 12 Maret 1966) beserta
seluruh ormas-ormasnya, sesudah berbulan-bulan - sejak Oktober 1965 ratusan
ribu manusia tidak bersalah telah dibunuhi secara besar-besaran dengan
cara-cara yang tidak perlu lagi disebutkan dalam tulisan ini. Kemudian ia
menangkapi juga menteri-menteri dan anggota-anggota DPR-GR yang mewakili PKI,
PNI atau ormas kiri. Suharto dkk juga mengangkat 136 anggota MPRS (yang baru,
yang terdiri dari orang-orang „mereka“) untuk mengganti mereka yang sudah
„dibersihkan“ terlebih dulu. Padahal, Suharto
semestinya tidak berhak melakukan hal yang demikian itu.
Maka, MPRS yang demikian itulah yang dalam bulan Maret 1967 telah
memutuskan TAP nomor 33/1967 , yang dalam pasal nomor 3-nya berbunyi: “Melarang
Presiden Sukarno melakukan politik sampai dengan pemilu dan sejak berlakunya
ketetapan ini menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno serta segala
kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD 1945”. Dalam pasal 4 TAP MPRS
itu disebutkan bahwa Jenderal Suharto diangkat sebagai Pejabat Presiden
sehingga dipilihnya Presiden oleh MPRS hasil Pemilu.
Nah, dengan TAP 33/1967 yang dibikin oleh “MPRS” yang legitimasinya semacam
itulah (!!!) segala kekuasaan Bung Karno sebagai kepala negara, pemimpin besar
revolusi, dan panglima tertinggi Angkatan Bersenjata telah dilucuti. Mereka
yang membikin TAP untuk melucuti kekuasaan Bung Karno itu adalah “wakil-wakil
rakyat”, yang telah digiring oleh TNI-AD dalam suasana terror yang sedang
melanda seluruh negeri waktu itu. Lewat kampanye besar-besaran anti-PKI telah
diselipkan juga kampanye anti-Sukarno dalam berbagai bentuk. (Bagi mereka yang
kini sudah agak lanjut usia, tentunya masih terngiang-ngiang di telinga mereka
slogan-slogan “Sukarno Gestapu Agung¨, “Sukarno dalang Gestapu” dll).
PUNCAK KUDETA “MERANGKAK”
TAP MPRS 33/1967 yang “memecat¨ Bung Karno sebagai presiden RI ini
merupakan puncak dari sederetan panjang pembangkangan (insubordinasi) Suharto
dkk kepada Bung Karno sebagai kepala negara dan panglima tertinggi. Berbagai
pembangkangan ini secara nyata sudah dimulai sejak 1 Oktober 1965, (sesudah
pecahnya G30S). Sejumlah perintah Bung Karno tidak dilaksanakan oleh Suharto
dkk. Sebaliknya, Suharto dkk melakukan banyak langkah-langkah yang bertentangan
dengan kemauan atau politik Bung Karno. (Dewasa ini, amatlah penting adanya
suatu studi yang menyeluruh tentang berbagai pembangkangan Suharto dkk terhadap
Bung Karno ini, yang perlu dilakukan oleh para pakar hukum dan militer, oleh masyarakat
sejarawan dll).
TAP MPRS 33/1967 untuk menggulingkan Bung Karno adalah realisasi “kudeta
merangkak¨ secara “konstitusional” yang dipersiapkan dan dilaksanakan oleh
pimpinan TNI-AD waktu itu. Ketetapan MPRS ini adalah manifestasi terpusat
pertentangan antara garis politik revolusioner anti-imperialis Bung Karno
berhadapan dengan sikap pimpinan TNI-AD yang anti-politik Bung Karno dan
sekaligus anti-PKI. Ketetapan MPRS 33/1967 ini adalah pengejawantahan titik
pertemuan antara kepentingan kekuatan asing (imperialisme dan neo-kolonialisme)
dan kekuatan kontra-revolusi dalamnegeri. Apa yang tidak bisa dicapai oleh
berbagai gerakan kontra-revolusi (terutama sekali PRRI-Permesta) telah tercapai
oleh ketetapan MPRS ini, dalam situasi yang baru dan oleh pelaku-pelaku yang
berbeda. Ringkas-padatnya, ketetapan ini adalah pengkhianatan terhadap revolusi
45, artinya pengkhianatan kepada bangsa.
Karena hebatnya indoktrinasi beracun Orde Baru/GOLKAR yang dibarengi oleh
pemalsuan sejarah dalam tempo yang begitu lama (lebih dari 32 tahun!) maka
banyak orang yang kabur atau bahkan keliru memandang persoalan ketetapan MPRS
33/1967. Berseberangan dengan apa yang selama ini didengung-dengungkan oleh
Orde Baru/GOLKAR, penggulingan Bung Karno bukanlah tindakan untuk menyelamatkan
republik kita, bahkan merusaknya. Apa yang kita saksikan dewasa, dengan
timbulnya begitu banyak persoalan parah yang sedang melanda negara dan bangsa,
adalah buktinya.
Oleh karena itu, tergulingnya Bung Karno secara definitif oleh ketetapan
MPRS 33/1967 adalah MASALAH BESAR dalam sejarah bangsa Indonesia. Memang,
pertama-tama, TAP 33/1967 adalah urusan keluarga Bung Karno sendiri
(putera-puterinya atau saudara-saudara terdekatnya yang lain). Tetapi, di
samping itu, masalah ini adalah juga urusan banyak orang lainnya. Masalah Bung
Karno bukanlah hanya urusan para pengikut Marhaenisme atau para pendukung
politiknya saja! Yang menderita (secara lahiriyah atau bathiniyah) atau yang
dirugikan oleh TAP 33/1967 berjumlah puluhan atau ratusan juta orang. Bahkan,
bukan itu saja!!! Kalau kita renungkan dalam-dalam, yang dirugikan oleh TAP
33/1967 adalah perjuangan bangsa sebagai keseluruhan.
BUNG KARNO ADALAH KORBAN
KONTRA-REVOLUSI
Anak-judul tulisan ini
mungkin mengagetkan orang-orang tertentu, atau, setidak-tidaknya, membikin
mereka bertanya-tanya apakah memang benar demikian adanya. Bahwa Bung Karno
menjadi sasaran imperialisme, mungkin masih agak mudah dimengerti oleh banyak
orang. Tetapi, bahwa ia juga menjadi sasaran kontra-revolusi dalamnegeri yang bernama
ORDE BARU/GOLKAR adalah suatu hal yang, agaknya, masih belum difahami secara
jelas oleh sebagian orang. Padahal, kalau dilihat dari perjalanan sejarah hidup
Bung Karno, maka jelas sekalilah bahwa ia telah sering sekali menjadi sasaran
berbagai serangan kontra-revolusi dalamnegeri. Dan, kalau kita tinjau
perjalanan sejarah bangsa dan juga mengingat tujuan Revolusi 17 Agustus 45,
maka jelaslah bahwa Bung Karno akhirnya telah menjadi korban satu
kontra-revolusi dalamnegeri yang paling besar dalam sejarah Republik Indonesia.
Kontra-revolusi yang paling besar itu bernama : ORDE BARU (artinya: Golkar).
Dari apa yang sudah
dilakukan oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR terhadap Bung Karno sebagai kepala
negara dan pemimpin bangsa dalam tahun 1965,1966 dan 1967, maka jelaslah bahwa
Orde Baru/GOLKAR adalah, pada hakekatnya, suatu KEKUATAN KONTRA-REVOLUSIONER.
Jati-diri Orde Baru/ GOLKAR sebagai kontra-revolusi besar-besaran itu tidak
hanya dimanifestasikan dalam aksi-aksi para pendirinya dalam melumpuhkan kekuatan
pendukung Bung Karno dalam tahun 1965 dan 1966, melainkan juga dalam
menggulingkan ¡§secara konstitusional¡¨ Bung Karno dalam tahun 1967. Kemudian,
jati-diri Orde Baru/GOLKAR sebagai kekuatan kontra-revolusioner itu
dimanifestasi-kannya lebih jelas lagi dalam berbagai politiknya atau
prakteknya, terus-menerus, selama lebih dari 32 tahun.
Adalah penting sekali
bagi bangsa kita, dewasa ini maupun di kemudian hari, untuk menghayati bahwa
Orde Baru adalah satu kekuatan kontra-revolusi yang paling ganas, yang paling
besar, dan yang mempunyai ciri-ciri fasis. Mengerti secara jelas bahwa Orde Baru/GOLKAR
adalah, pada intinya, suatu KONTRA-REVOLUSI ini sangat diperlukan untuk
mengerti pula, mengapa Bung Karno telah digulingkan, dan mengapa untuk
menggulingkannya itu perlu sekali dihancurkan terlebih dulu kekuatan
pendukungnya, terutama PKI. Juga mengerti bahwa yang menjadi korban
penggulingan Bung Karno bukannya hanya para pendukungnya saja, melainkan juga
mereka yang tidak menyukai politiknya. Karena, sistem politik Orde Baru/GOLKAR
adalah regime militer diktatorial atau otoriter yang menindas seluruh bangsa,
dan hanya menguntungkan sebagian kecil sekali golongan masyarakat.
MENGAPA TAP 33/1967
HARUS DICABUT
Perjuangan untuk
dicabutnya TAP MPRS 33/1967 mempunyai arti besar bagi bangsa kita yang sedang
memperjuangkan reformasi. Perjuangan ini tidak mudah, mengingat masih banyaknya
kekuatan sisa-sisa Orde Baru/GOLKAR di bidang eksekutif, legislatif, judikatif,
dan juga di antara tokoh-tokoh masyarakat. Karenanya, juga akan makan waktu
lama, barangkali. Tetapi, pekerjaan ini perlu dilakukan juga terus-menerus, dan
dalam berbagai bentuk dan cara. Sebab, memperjuangkan dicabutnya TAP MPRS
33/1967 merupakan pendidikan politik bagi banyak orang, dan juga satu cara
untuk menghormati Bung Karno sebagai guru pemersatu bangsa
Di samping itu, dalam
proses memperjuangkan dicabutnya TAP tersebut maka berbagai masalah penting
lainnya akan selalu terungkap terus juga, yang menunjukkan watak yang
sebenarnya Orde Baru/GOLKAR. Umpamanya, bahwa TAP 33/1967 adalah kelanjutan
logis dari tindakan buruk lainnya yang dilakukannya sebelumnya, yaitu TAP
25/1966 mengenai dilarangnya PKI dan penyebaran Marxisme. TAP MPRS tentang
larangan PKI ini jelas sekali bertentangan sekali dengan politik Bung Karno,
dan jelas juga bahwa Bung Karno tidak menyetujuinya.
Perlulah difahami oleh sebanyak
mungkin orang, bahwa digulingkannya Bung Karno dengan TAP 33/1967 adalah,
antara lain karena sikapnya yang tidak mau membubarkan PKI. Di sinilah letak
keteguhan Bung Karno dalam mempertahankan prinsip-prinsip perjuangan yang sudah
diembannya sejak umur 26 tahun sampai akhir hayat hidupnya. Sejak muda ia
meyakini pentingnya persatuan revolusioner nasional, pentingnya kerjasama
antara golongan nasionalis, agama dan komunis, dalam menghadapi tugas-tugas
perjuangan bangsa.
Karena
prinsip-prinsipnya inilah, karena gagasan besarnya inilah, dan juga karena
keteguhannya dalam mencengkam pendiriannya inilah maka ia bersedia
bertahun-tahun masuk dalam penjara dan pembuangan pemerintahan kolonial
Belanda. Bahkan, dan di sinilah kehebatan Bung Karno: karena teguh pada
pendiriannya inilah maka sampai akhir hidupnya ia tidak mau mengkhianati PKI,
sebagai salah satu di antara pendukung perjuangan politiknya.
Dalam kaitan ini, adalah
menarik untuk dikutip satu bagian kecil pidato pembelaan Sudisman, salah satu
dari pimpinan PKI didepan Mahmilub tanggal 21 Juni 1967, yang berbunyi :
Saya dan PKI tidak
pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung Karno, tidak pernah memberikan
agung ini, atau agung itu, sebab gelar satu-satunya yang tepat adalah „Bung
Karno“ sehingga nama Bung Karno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran) ke Bung
Karno (artinya bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang revolusioner, justru
dalam keadaan sulit seperti sekarang inilah saya terus membela dan
mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa „in de nood leert men
zijn vrienden kennen“ (dalam kesulitan kita mengenal kawan) dan „yo sanak yo
kadang, yen mati aku sing kelangan“ kata bung Karno untuk PKI.
Sebagai arek Surabaya,
saya sambut uluran tangan Bung Karno dengan „ali-ali nggak ilang, nggak isa
lali ambek kancane“ (artinya tidak bisa lupa sama kawannya). Kenapa saya bela
dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya yalah sepanjang sejarahnya Bung Karno
konsekwen anti-imperialis sampai berani menyemboyankan „go to hell with your
aid“ terhadap imperialis Amerika Serikat. Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa
feodal dengan mengadakan landreform terbatas dan Bung Karno setia pada
persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya pada
anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk „Barisan Sukarno“ (kutipan habis).
Para pembaca yang
budiman! Bagian terakhir tulisan ini diketik sambil menikmati latar-belakang
suara yang keluar dari casette yang memperdengarkan pidato Bung Karno di depan
Sidang Umum PBB tahun 1960. Ketika mendengarkan dan merenungkan isi pidato Bung
Karno itu, maka hati penulis dipenuhi oleh perasaan bangga, geram, senang dan
berang. Alangkah bagusnya bahasa Inggrisnya Bung Karno. Alangkah indahnya
kalimat-kalimat dalam pidatonya. Alangkah mendalamnya arti isi berbagai bagian
pidatonya itu. Alangkah besarnya wawasan politik dan pendekatan falsafahnya
ketika berbicara tentang berbagai masalah dalamnegeri Indonesia dan juga
berbagai masalah internasional dewasa itu.
Dalam pidatonya itu ia
dengan bagus sekali mengangkat masalah pentingnya menghubungkan perjuangan
nasional setiap bangsa dan rakyat dengan perjuangan bangsa lain, pentingnya
setiap bangsa berdiri di atas kaki sendiri tetapi juga kerjasama dengan negeri
lain. Ia menjelaskan, dengan cara yang mempesonakan,
perjuangan rakyat Aljazair, Congo dll melawan kolonialisme. Adalah dengan
keberanian dan ketegasan yang menonjol sekali ketika ia mengecam PBB (setengah
memperolokkannya!) karena masih mengucilkan RRT dari keanggotan PBB. Di depan sidang PBB itu,
ia mengajukan kritik-kritik pedas terhadap imperialisme. Ketika mendengar
tepuk-tangan yang begitu meriah berkali-kali selama pidatonya itu, hati pun
ikut melonjak-lonjak karena bangga.
(Catatan selingan :
Penulis makin yakin, bahwa untuk mengerti tentang kebesaran Bung Karno,
perlulah membaca karya-karya dan mendengar pidato-pidatonya. Kebesaran Bung
Karno bukan karena bagusnya tulisan dan pidato-pidatonya saja, melainkan berkat
isinya yang dalam dan memberikan inspirasi. Bukan itu saja! Kebesarannya adalah
juga berkat ketulusan perjuangannya, satunya antara kata dan perbuatan dalam
mengabdi kepada kepentingan bangsa. Oleh karena itu bacalah karya-karyanya, dan
dengarkanlah pidato-pidatonya, para saudara!)
Sesudah mendengar
pidatonya di depan PBB itu, maka nyatalah bagi penulis bahwa Bung Karno
memanglah tokoh besar bangsa Indonesia, yang sampai sekarang belum ada
tandingnya. Dan ketika merenungkannya, maka dalam hati penulis timbul juga rasa
marah. Alangkah besarnya kerugian bangsa kita karena kehilangan orang yang
sebesar itu, gara-gara kontra-revolusi yang mengkhianatinya! Dan yang lebih
membikin geram adalah bahwa Bung Karno telah dijatuhkan dan kemudian hanya
diganti oleh ¡§kepala negara¡¨ yang berkelakuan sebagai kriminal kaliber besar
(ingat : kasus pengumpulan kekayaan secara tidak sah serta berlebih-lebihan)
dan diktator yang bertindak secara fasis (ingat : kasus berbagai pelanggaran
HAM selama puluhan tahun).
Bung Karno telah
mengangkat derajat dan harga diri bangsa, melalui perjuangannya puluhan tahun
sejak muda. Tetapi, seperti hasilnya yang bisa kita saksikan bersama dewasa
ini, Suharto dkk. lewat Orde Baru/GOLKAR-nya bertindak sebaliknya : membikin
terpuruknya bangsa, baik di skala nasional maupun internasional!
Mengingat itu semua,
maka adalah kewajiban yang benar (dan adil!) bagi semua orang yang mendambakan
dipulihkannya nama Bung Karno untuk aktif berpartisipasi dalam gerakan untuk
menuntut dicabutnya TAP 33/1967. Perjuangan ini adalah untuk kebaikan kita
semua, baik untuk generasi sekarang, maupun generasi yang akan datang.
Paris, 9 Mei 2001
********************************
Ajakan renungan . Umar
Said
(Tulisan berikut di
bawah ini juga disajikan dalam website
http://perso.club-internet.fr/kontak/
PENGALAMAN KORBAN PERISTIWA 65 - ADALAH GURU BESAR BANGSA
PENGALAMAN KORBAN PERISTIWA 65 - ADALAH GURU BESAR BANGSA
Ketika kita memperingati
“40 tahun peristiwa 65” apa sajakah yang perlu kita kenang kembali atau kita
tarik sebagai pelajaran penting bagi bangsa kita dewasa ini dan juga untuk
anak-cucu kita di kemudian hari ? Boleh dikatakan, semuanya! Semua soal yang
berkaitan dengan peristiwa 65 adalah penting. Karena itu, peristiwa 65 adalah
rumit, dan bersegi banyak. Dalam persoalan besar yang sangat bersejarah bagi
bangsa dan Republik Indonesia ini ada aspek PKI, ada aspek Bung Karno, aspek
TNI-AD, aspek Suharto, aspek golongan Islam, aspek CIA. Di dalamnya terdapat
juga faktor sejarah, faktor politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dan
semuanya itu ada sangkut-pautnya - secara langsung atau tidak langsung - dengan
banyak persoalan dalamnegeri dan internasional pada waktu itu.
Mengingat begitu besar
dampak peristiwa 65 untuk kehidupan bangsa kita, maka sebaiknya (atau
sepatutnya) makin banyak orang bisa menulis tentang itu semua. Sehingga
berbagai masalah peristiwa 65 bisa dilihat secara betul-betul jernih dan juga
secara menyeluruh. Karena, seperti kita saksikan sendiri masing-masing selama
ini, banyak sekali soal yang berkaitan dengan peristiwa 65 telah
diputar-balikkan, direkayasa, dipalsukan, dibohongkan, disulap dan “divermaak”
oleh Orde Baru. Dan dalam jangka waktu yang lama sekali pula, yaitu lebih dari
32 tahun !!! Jadi, tidak tanggung-tanggung.
Dalam tulisan yang kali
ini titik berat diletakkan pada ajakan kepada semua untuk merenungkan bersama
masalah penganiayaan dan penyiksaan dilakukan oleh para pembangun rejim militer
Orde Baru. Karena, penganiayaan biadab dan penyiksaan sadis adalah salah satu
di antara banyak “senjata ampuh” yang dipakai oleh Orde Baru dalam melumpuhkan
kekuasaan Bung Karno dan dalam memukul PKI beserta pendukung-pendukungnya. dan
penyiksaan (yang dilakukan dalam berbagai bentuk) adalah suatu cara rejim
militer Orde Baru untuk kemudian melakukan terror permanen di seluruh negeri,
guna memperkokoh cengkeraman kekuatan militernya. Dalam arti tertentu, bisalah
kiranya disimpulkan bahwa penganiayaan dan terror adalah satu dan senyawa
dengan Orde Baru.
PUNCAK KEBIADABAN DALAM
SEJARAH BANGSA
Barangkali, penganiayaan
dan penyiksaan oleh kesatuan-kesatuan TNI-AD (dan kalangan kecil dari golongan
Islam) terhadap anggota, simpatisan kader-kader PKI dan pendukung Bung Karno,
merupakan puncak kebiadaban yang pernah dibikin oleh segolongan kecil bangsa
kita.terhadap sesama warganegara. Dan, mungkin juga, puncak kebiadaban yang
mengerikan ini adalah satu-satunya yang muncul dalam sejarah bangsa Indonesia.
Mudah-mudahan, Insya Allah!
Kalau mengingat betapa
hebatnya penganiayaan atau sadisnya penyiksaan terhadap begitu banyak orang
yang ditangkap dan diinterogasi oleh aparat militer maka kita bisa
bertanya-tanya apakah bangsa kita ini masih pantas dinamakan bangsa yang
beradab? Apakah kita bisa membanggakan diri sebagai bangsa yang majoritasnya
pemeluk agama?
Selama 32 tahun
pemerintahan rejim militer Suharto dkk orang tidak bisa dan juga tidak berani
buka suara tentang kebiadaban, kebuasan, dan kebengisan yang terjadi dalam
tahun-tahun pertama ketika Suharto dkk menyerobot kekuasaan dari tangan Bung
Karno. Sebab, berani buka suara waktu itu berarti pasti menghadapi penangkapan
dan penganiayaan.
Baru setelah Suharto
dengan Orde Barunya dipaksa turun dari kekuasaan dalam tahun 1998, sedikit demi
sedikit muncullah beraneka ragam cerita dan kesaksian tentang betapa hebatnya
penganiayaan dan penyiksaan terhadap para korban. Sebagian kecil sekali dari
cerita dan kesaksian ini sudah mulai diketahui oleh publik melalui, antara
lain, artikel atau tulisan dalam majalah, memoire dalam bentuk buku.
Mengingat banyaknya
kasus penganiayaan dan hebatnya penyiksaan, dan mengingat juga besarnya orang
yang telah menderita perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini, maka kiranya
kita semua perlu mendorong sebanyak mungkin orang untuk terus menulis tentang
itu semua lebih banyak lagi. Menulis (atau menceritakan) tentang kebiadaban
penganiayaan dan penyiksaan yang telah dilakukan oleh sebagian golongan militer
(dan sebagian kecil golongan Islam pada waktu itu) merupakan tugas penting
generasi bangsa kita dewasa ini. Sebab, kalau tugas penting ini tidak
dikerjakan sekarang, maka saksi-saksi hidupnya akan makin berkurang atau banyak
pelaku-pelaku sejarahnya yang sudah keburu meninggal dunia.
BESARNYA DAN LUASNYA
PENGANIAYAAN
Sekadar untuk
menyegarkan kembali ingatan kita bersama, pada akhir tahun 1965, dan dalam
tahun-tahun 1966 dan 1967, hampir seluruh pemimpin dan kader PKI dari berbagai
tingkat (propinsi, kabupaten, kota besar dan kota madya, kecamatan, bahkan
kelurahan) di seluruh Indonesia ditangkapi secara besar-besaran dan ditahan
secara sewenang-wenang dalam jangka waktu yang lama. Sebagian besar di antara
mereka dibunuh begitu saja dengan cara-cara yang tidak berperi-kemanusiaan.
Banyak diceritakan
sekarang bagaimana kejamnya siksaan terhadap mereka yang ditangkap itu selama
diinterogasi. besar di antara mereka itu terdiri dari para pemimpin atau kader
bermacam-macam organisasi buruh, tani, nelayan, wanita, pemuda, , tentara,
pegawai negeri, dan golongan lainnya dalam masyarakat. Banyak di antara mereka
yang disetrum listrik, disundut dengan puntung rokok, dipukuli dengan kawat
berduri, digantung sampai berhari-hari, dipukuli beramai-ramai, ditusuk-tusuk
dengan pisau atau bayonet, di-sel di ruangan gelap (tanpa sinar matahari
sedikitpun) sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Sebagian di antara
mereka disiksa di hadapan istri dan anak. Banyak yang sesudah disiksa tidak
diberi pengobatan dan dibiarkan kesakitan sampai jangka lama. Banyak sekali
orang tahanan yang tidak boleh berhubungan sama sekali dengan keluarganya.
Tidak sedikit di antara tahanan wanita yang diperkosa atau dilecehkan
kesusilaan mereka dengan berbagai cara. Semuanya ini sulit dibantah, karena
saksi-saksinya masih ada, dan korban-korbannya pun banyak sekali yang masih
bisa memberikan kesaksian.
Dampak siksaan atau
penganiayaan ini besar sekali. Dari mulut ke mulut bocor juga berita tentang
kekejaman yang diperlakukan terhadap para tahanan itu. Berita-berita inilah
yang kemudian juga menimbulkan terror di kalangan keluarga (atau di kalangan
teman-teman) yang ditahan. Ketakutan yang besar sekali terhadap militer
menghinggapi kalangan luas dalam masyarakat di seluruh negeri waktu itu.
Dalam jangka lama semasa
Orde Baru, tempat-tempat seperti Kodam, Korem dan Kodim di seluruh Indonesia
merupakan sesuatu yang sangat ditakuti oleh banyak orang biasa. (Ditakuti,
tetapi tidak berarti juga dihormati). Sebab, sering sekali, orang-orang yang
ditahan oleh Kodim adalah orang-orang yang dianggap mem-punyai masalah. Masalah
yang berkaitan dengan “keamanan”, yang arti polosnya yalah kekuasaan rezim
militer.
Entah sudah berapa
jumlah orang-orang yang pernah ditahan oleh Kodim (atau instansi militer
bawahannya) di seluruh Indonesia. Seandainya tembok-tembok gedung Kodim di
banyak tempat bisa bicara akan bisa menggigillah orang men-dengar kisah-kisah
tentang hebatnya dan juga banyaknya siksaan biadab yang telah dilakukan oleh
para petugas militer waktu itu.
KESAKSIAN PARA KORBAN
ADALAH MILIK BERHARGA BANGSA
Kisah-kisah tentang
penyiksaan atau penganiayaan oleh petugas-petugas militer ini sebenarnya
sekarang ini dapat didengar dari banyak para korban peristiwa 65, para
eks-tapol, dan juga keluarga mereka. Kesaksian mereka (beserta sanak-saudara
mereka, dekat maupun jauh) adalah MEMOIRE KOLEKTIF dan merupakan milik berharga
bangsa, baik bagi generasi yang sekarang maupun bagi anak-cucu kita.
Dari kisah mereka itu
bangsa kita sekarang dan anak-cucu kita akan mengetahui dengan jelas bahwa
TNI-AD pernah melakukan kejahatan besar-besaran dalam bentuk siksaan biadab
atau penganiayaan sadis terhadap sesama warganegara. Kisah para korban
peristiwa 65 adalah sarana pendidikan moral yang sangat ampuh, atau alat
pemupukan rasa perikemanusiaan yang sangat ideal. Kisah para korban peristiwa
65 tentang penyiksaan dan penganiayaan merupakan juga contoh kongkrit atau
nyata tentang pelanggaran perikemanusiaan.
Dari segi inilah kita
bisa melihat pentingnya mendorong atau menganjurkan kepada para korban
peristiwa 65 (termasuk sanak-saudara, dan juga teman-teman terdekat mereka)
untuk berusaha mengangkat kisah-kisah sebenarnya tentang pengalaman mereka
mengenai penyiksaan dan penganiayaan oleh militer, terutama sekali dalam
tahun-tahun pertama terjadinya G30S.
Dalam kaitan ini kiranya
perlu sekali kita renungkan bersama -- secara dalam-dalam -- soal berikut:
pengangkatan kisah-kisah ini tidak dimaksudkan untuk tujuan nista, yaitu:
mengungkit-ungkit dendam, atau membuka luka-luka lama, sekadar melam-piaskan
kemarahan dan mengumbar hujatan, menyebar kebencian atau mengipasi permusuhan
untuk tujuan luhur, yaitu : mengajak orang banyak untuk menjunjung
tinggi-tinggi perikemanusiaan, mematuhi peradaban, memupuk rasa persaudaraan,
dan menghormati perasaan keadilan, demi kebaikan bersama seluruh bangsa
Di samping itu, melalui
kisah-kisah tentang penyiksaan dan penganiayaan ini kita bisa berusaha memberi
sumbangan kepada reformasi di bidang jiwa dan moral di kalangan militer
(teruatama kalangan TNI-AD), supaya tidak mengulangi lagi kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran
berat yang sudah banyak dan sering sekali dilakukan semasa Orde Baru.
Sebab, seperti sudah
kita saksikan sendiri selama ini, jelaslah kiranya bahwa, penyiksaan, dan
penindasan, dan pemerkosaan, dan pemerasan, dan persekusi, dan intimidasi, adalah
praktek-praktek yang banyak dilakukan oleh kalangan militer dalam jangka waktu
puluhan tahun. Ini dialami sendiri dengan bukti-bukti yang nyata oleh banyak
orang dari berbagai kalangan dan golongan di seluruh tanah air kita. Jadi,
sekali lagi, fakta-fakta sejarah ini sulit sekali dibantah atau diungkiri.
Kalau dalam tahun-tahun
pertama sesudah G30S tindakan yang biadab itu terutama sekali ditujukan kepada
kader atau anggota dan simpatisan PKI dan pendukung Bung Karno, maka kemudian
juga golongan-golongan lainnya yang dianggap berbahaya bagi rejim militer
mendapat gilirannya. Itu sebabnya maka terjadi peristiwa-peristiwa berdarah di
Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Madura. Yang terma-suk agak baru atau agak akhir
adalah peristiwa di Timor Timur, kerusuhan rasial bulan Mei 1998, penculikan 14
anak muda PRD, penyerbuan gedung PDI di jalan Diponegoro, dan peristiwa
Semanggi. Pembunuhan pejoang HAM, Munir, dalam tahun 2004, adalah bentuk yang
lain lagi dari praktek biadab ini.
GURU BESAR SOAL PENYIKSAAN
DAN PERIKEMANUSIAAN
Jadi, dalam rangka
memperingati 40 tahun peristiwa 65 mengungkap kembali kebiadaban penyiksaan dan
membeberkan kebuasan penganiayaan aparat militer terhadap para korban adalah
perlu atau dan juga tepat waktunya. Membeberkan kebiadaban penganiayaan dan
terhadap korban peristiwa 65 tidaklah bermaksud untuk “memojokkan” salah satu
golongan, bukan pula untuk “menghina” salah satu aparat Negara. Apalagi, bukan
juga untuk sekadar “menjelek-jelekkan atau “menodai” kehormatannya.
Justru kebalikannya!!!
Kita, sebagai bangsa, tidak ingin kalau kejahatan-kejahatan monumental yang
sudah dilakukan oleh golongan militer (terutama TNI-AD) selama masa Orde Baru
bisa terulang lagi, baik sekarang maupun di masa-masa yang akan datang. Sebagai
bangsa, kita butuhkan militer yang tidak berjiwa Orde Baru. Kita akan hormati
militer yang anti-Orde Baru.
Kejahatan di masa yang
lalu sudah makan terlalu banyak korban jiwa manusia. Dan penderitaan yang
mengucurkan banyak airmata dan darah pun sudah berlangsung terlalu lama.
Tulisan ini diakhiri
himbauan kepada para korban peristiwa 65 (termasuk juga para sanak-saudaranya
dan teman-teman terdekatnya):
Pengalaman kalian adalah
guru besar bangsa dalam soal-soal penderitaan dan perikemanusiaan! tanpa
ragu-ragu pengalaman kalian sebagai sumbangan kepada pembangunan jiwa dan moral
baru bangsa. Demi tercapainya masyarakat adil dan makmur, yang juga dijiwai
sungguh-sungguh Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar